Blogs That Discuss About The World Of Education, Special Education Was Exceptional

Powered by Blogger.
.

Windows 7 Ultimate Genuine

Diposkan oleh romiariyanto Friday, December 31, 2010

AIs a version of Microsoft Windows, a series of operating systems produced by Microsoft for use on personal computers, including home and business desktops, laptops, netbooks, tablet PCs, and media center PCs. Windows 7 was released to manufacturing on July 22, 2009, and reached general retail availability on October 22, 2009, less than three years after the release of its predecessor, Windows Vista. Windows 7's server counterpart, Windows Server 2008 R2, was released at the same time. Windows 7 will be succeeded by Windows 8, which has no release date as of yet.

Windows 7 Ultimate X86 Final - Genuine and Working Activator | 2.32 Gb

AIs a version of Microsoft Windows, a series of operating systems produced by Microsoft for use on personal computers, including home and business desktops, laptops, netbooks, tablet PCs, and media center PCs. Windows 7 was released to manufacturing on July 22, 2009, and reached general retail availability on October 22, 2009, less than three years after the release of its predecessor, Windows Vista. Windows 7's server counterpart, Windows Server 2008 R2, was released at the same time. Windows 7 will be succeeded by Windows 8, which has no release date as of yet.

Hardware Requirements :
Processor: 1 GHz
Memory: (RAM) 1GB
Graphics Card: DirectX 9 Graphics Processor With WDDM Driver Model 1.0 (For Aero)
HDD: Free Space 16 GB Of Free Disk Space
Optical Drive: DVD drive (only to install from DVD/CD Media)





Install Note :
- Download and extract using WinRAR.
- Use Nero or other burning app to burn the ISO image
- Burning speed should not be faster than 4x. Otherwise, it might not work.
- Restart your computer.
- Make sure you have selected your DVD-ROM/RW drive as a first boot device.

* Enter the BIOS pressing the DEL button, set the option, insert your Windows 7 installation and restart computer.
- The black screen will appear (image 01).
- Press any key to boot from CD or DVD.... (by pressing the key you are entering the setup)
- Select your language, time and currency and keyboard input (optionaly)
- Click install now.
*Uncheck the box for automaticly activation and click next.
- Enjoy.


link : terbagi atas 12 part

ABSTRAK
Elvi Susanti (2008) : Efektifitas Terapi Musik Dalam Pengenalan Anggota Tubuh Anak Autisme ( Single Subject Research Kelas Persiapan II Di SLB Perwari Padang). Skripsi : PLB FIP Universitas Negeri Padang.


Penelitian ini berawal dari pengamatan yang peneliti laksanakan di sekolah, bahwa anak autisme x belum mengenal anggota tubuh. Dari hasil pengamatan, anak belum mampu menunjukkan semua anggota tubuh bagian atas dengan benar. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas dengan benar dan melihat apakah terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian tersebut efektif dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dalam bentuk Single Subject Research (SSR), dengan desain penelitiannya yaitu menggunakan desain A – B. Subjek penelitian ini adalah anak autisme x. Penilaian dalam penelitian ini konsisten dan mengukur banyaknya jumlah jawaban benar dari anggota tubuh bagian atas yang berhasil ditunjuk oleh anak dan disajikan dalam bentuk persentase.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, kemampuan anak autisme x dalam mengenal dan menunjukkan anggota tubuh bagian atas meningkat. Awalnya anak hanya mampu menunjukkan dua sampai empat anggota tubuh bagian atas dengan benar dan akhirnya anak mampu menunjukkan semua anggota tubuh bagian atas dengan benar meliputi : kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut. Dengan demikian rumusan masalah yang dikemukakan terjawab bahwa terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian efektif dalam pengenalan anggota tubuh pada anak autisme x kelas persiapan II di SLB Perwari Padang.
Berkaitan dengan hasil penelitian untuk membantu meningkatkan kemampuan anak autisme x dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas dengan benar, disarankan pada sekolah khususnya guru untuk menggunakan terapi musik yang di kemas dalam bentuk nyanyian untuk pengenalan anggota tubuh selanjutnya

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Autisme merupakan suatu paham yang hanya tertarik pada dunianya sendiri, perilakunya timbul semata – mata karena dorongan dari dalam dirinya dan tidak peduli dengan stimulus – stimulus yang datang dari orang lain. Penyandang autisme memiliki gangguan pada interaksi sosial, komunikasi (baik verbal maupun non verbal), imajinasi dan pola perilaku. Anak – anak yang menyandang autisme disebut juga anak autistic, autisme merupakan gangguan perkembangan perpasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan kelainan yang muncul sebelum anak berusia tiga tahun, dengan ciri – ciri abnormal terganggunya perkembangan anak sehingga anak tidak mampu membentuk hubungan sosial dan berkomunikasi secara normal, mereka terisolasi dari kontak mata dengan orang lain. Autisme yang di alami oleh anak autistic menyebabkan mereka mengalami bermacam -macam hambatan, salah satunya dalam kegiatan belajar atau akademik, sehingga anak autisme membutuhkan terapi dan pelayanan khusus yang diberikan di pusat terapi dan sekolah.
Sekolah- sekolah atau lembaga yang memberikan pelayanan terapi bagi anak autisme merupakan bentuk pendidikan atau pelayanan yang bersifat terpadu yaitu: dengan memadukan layanan yang difokuskan kepada kemampuan akademik, sosialisasi, perilaku dan komunikasi (bicara) anak. Semua bentuk layanan bagi anak autisme ini diberikan dalam sebuah layanan yang disusun sesuai dengan kebutuhan masing –masing anak. Salah satu bentuk layanan yang diberikan sesuai kebutuhan anak autisme dalam belajar yaitu terapi musik.
Terapi musik adalah penggunaan musik, nada, suara dan vibrasi sebagai media yang digunakan dalam pembelajaran untuk mengenalkan suatu pengetahuan, memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik, kesehatan emosi, kemampuan non verbal, kreatifitas, dan rasa alamiah dari musik menjadi fasilitator untuk hubungan, ekspresi diri, dan komunikasi. Selain itu terapi musik merupakan sebuah media yang menggerakkan, menggugah, memberi tenaga dan menghibur, karena dilakukan seseorang melalui interaksi langsung untuk membantu atau menolong seseorang, termasuk yang mengalami kelainan seperti intelegensi rendah, kelainan fisik, dan motorik, autisme dan lainnya. Terapi musik dalam pendidikan adalah suatu usaha mendidik melalui pelajaran musik untuk menumbuhkan cipta karsa rasa estetik anak didik dalam rangka mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikomotorik dan pisiomotorik secara optimum. Terapi musik bukanlah tujuan tetapi hanyalah sebagai alat atau media di dalam menyampaikan pengajaran, guru dapat menggunakan terapi musik sebagai media dalam menyalurkan ketegangan emosional, sosial, dan psikologi agar terwujudnya keindahan yang dapat dinikmati baik dirinya sendiri maupun orang lain. Terapi musik disini tidaklah sama dengan pelajaran kesenian atau sejenisnya, karena terapi musik sebagai sarana atau media dalam penyampaian materi pelajaran.
Jadi sangat memungkinkan sekali bagi dunia pendidikan untuk memanfaatkan musik sebagai salah satu media untuk mengembangkan kegiatan dan latihan dalam kegiatan belajar mengajar bagi anak autisme. Selain langkah yang di lakukan mudah dan sederhana, efek terapi musik dari lagu yang dinyanyikan dapat merangsang anak untuk mau menggerakkan anggota tubuhnya dan menimbulkan kemauan anak untuk mengekspresikan dan menyalurkan perasaannya secara lebih bebas. Peranan terapi musik sebagai media dalam pembelajaran di berikan agar tujuan yang diharapkan dari materi pelajaran dapat tercapai. Selain itu dengan terapi musik dalam pembelajaran pengetahuan akademik anak dapat ditingkatkan.
Pembelajaran tentang anggota tubuh pada anak autisme terlihat pada kurikulum yang digunakan oleh guru kelas dalam materi pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pengenalan anggota tubuh merupakan hal yang penting untuk diberikan kepada anak autisme karena merupakan bagian terdekat yang ada pada diri anak dan salah satu langkah awal anak untuk mengenal dirinya sendiri dengan mengetahui anggota tubuhnya, pembelajaran tentang anggota tubuh dipelajari anak dimulai pada bagian atas karena disesuaikan dengan kebutuhannya. Dengan adanya pelajaran tentang anggota tubuh diharapkan anak autisme mampu mengenal dan menunjukkan anggota tubuh dan tidak salah lagi dalam menunjukkan anggota tubuhnya, anak mengetahui fungsi dari anggota tubuh, manfaat dari anggota tubuh dan menggunakan anggota tubuh tersebut sesuai fungsinya masing –masing meliputi : kepala, mata, telinga, hidug, dan mulut. Selain itu juga diharapkan dengan mengenal dan mampu menunjukkan, anak akan mengerti dengan konsep ruang, seperti : mata kiri dan mata kanan, bagian atas bagian bawah dan juga dalam pelajaran selanjutnya anak akan mampu melakukan hitungan sederhana.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan selama melakukan kegiatan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di Sekolah Luar Biasa (SLB) Perwari Padang di kelas persiapan II ( dua), dijumpai seorang anak autisme x dengan karakteristik suka berjalan mondar mandir, melompat – lompat dan berputar – putar di kelas. Berdasarkan identifikasi yang peneliti lakukan terhadap anak, diketahui bahwa anak ternyata mampu melakukan kontak mata dengan baik dalam durasi kurang lebih 3 menit, kemampuan interaksi sosial anak cukup baik dengan teman sebaya, guru dan orang tua. Ekspresi muka dan gerak – geriknya tertuju dengan apa yang dilakukan dan yang di inginkannya. misalnya ketika anak menginginkan kue, anak akan menarik dan menunjuk ke makanan. Apabila dilihat dari perkembangan bicara (komunikasi) baik verbal maupun non verbal anak hanya mengeluarkan suara dengan bergumam ketika menginginkan dan melakukan sesuatu dan ketika melakukannya disertai dengan anak menarik orang yang ada di dekatnya untuk membantu anak melakukan apa yang di inginkannya. Sedangkan dalam kemampuan akademik mata pelajaran IPA tentang pengenalan anggota tubuh anak belum mampu mengenal dan menunjukkan seperti : kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut. Seperti ketika peneliti meminta anak untuk menunjukkan matanya, anak tidak bisa menunjukkan dengan benar. Selama ini ketika anak mengikuti pembelajaran, terlihat kalau anak tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pelajaran, kurang adanya pemberian materi yang bervariasi mengakibatkan anak merasa bosan dan ingin keluar kelas dan hasil belajar yang diharapkan kurang tercapai dengan baik. Selain itu terlihat bahwa anak tertarik dan lebih suka dengan kegiatan bernyanyi, dilihat ketika peneliti melaksanakan kegiatan praktek pengalaman lapangan yang mana pada waktu itu peneliti diberi kesempatan untuk mengajar di kelas anak, ketika anak mulai merasa bosan dan ingin keluar kelas, peneliti mengajak anak untuk bernyanyi sambil menggerakkan anggota tubuh. Anak terlihat sangat antusias dan bersemangat menerima pelajaran ketika pemberian materi pelajaran diberikan peneliti dalam bentuk kegiatan bernyanyi.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk membantu anak autisme dalam pengenalan anggota tubuh bagian atas dengan menggunakan terapi musik dalam bentuk nyanyian, karena terapi musik merupakan salah satu terapi penunjang yang diberikan melalui kegiatan bernyanyi yang dapat membuat anak merasa tertarik dan memiliki keinginan untuk belajar, serta diharapkan anak mampu mengenal anggota tubuhnya.
B. Identifikasi Masalah
Dilihat dari permasalahan yang telah dipaparkan pada latar belakang diatas, maka dapat di identifikasi permasalahannya sebagai berikut:
1. Anak sering mondar-mandir, melompat-lompat dan berputar-putar di ruang kelas ketika proses pembelajaran
2. Anak belum mengenal anggota tubuh bagian atas
3. Anak tertarik dan lebih suka dengan kegiatan bernyanyi
4. Metode yang digunakan guru dalam pengenalan anggota tubuh yaitu ceramah dan instruksi
5. Anak lebih tertarik dengan kegiatan bernyanyi pada saat pembelajaran
C. Batasan Masalah
Agar lebih terarahnya penelitian ini, maka penulis membatasi masalah yaitu : mengenalkan kepada anak tentang anggota tubuh bagian atas yang meliputi kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut dengan menggunakan terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu : “Apakah terapi musik efektif dalam pengenalan anggota tubuh bagian atas untuk anak autisme x kelas persiapan II di SLB Perwari Padang” ?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaaan terapi musik dalam pengenalan anggota tubuh bagian atas anak autisme x kelas persiapan II di SLB Perwari Padang.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian secara khusus bermanfaat untuk mengetahui kemampuan anak dalam pengenalan anggota tubuh bagian atas dengan terapi musik dalam bentuk nyanyian. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat untuk berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang berhubungan dengan Pendidikan Khusus antara lain :
1. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang upaya pengenalan anggota tubuh pada anak autisme dengan terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian.
2. Bagi pendidik, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengenalkan anggota tubuh bagi anak autisme dengan terapi musik
3. Bagi anak, dapat mengenal anggota tubuh melalui terapi musik sehingga program dari pembelajaran selanjutnya dapat dilakukan dengan baik.
4. Bagi mahasiswa/i, terapi musik dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam pembelajaran pengenalan anggota tubuh bagian atas khususnya bagi anak autisme melalui terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian.
G. Defenisi Operasional Variabel
Agar tidak terjadi kesalah pahaman tentang judul penelitian, perlu di definisikan variable yang ada dalam defenisi operasional ini, yaitu :
1. Variabel Terikat (target behaviour)
Pengenalan anggota tubuh yang baik apabila anak mengenal dan menunjukkan di mana letak anggota tubuh tersebut. Adapun anggota tubuh yang akan dikenalkan kepada anak adalah anggota tubuh bagian atas meliputi : kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut.
Kemampuan anak yang dituntut dalam penelitian ini yaitu kemampuan anak menunjukkan dengan benar anggota tubuh bagian atas, dengan banyaknya jumlah jawaban benar yang ditunjukkan oleh anak dalam pengenalan anggota tubuh. Kriteria penilaian diberikan terlihat pada jumlah jawaban benar ketika anak menunjukkan dalam beberapa kali sesi, jumlah jawaban benar diberi poin seperti ketika anak mampu menunjukkan dengan benar 5 anggota tubuh maka poinnya bernilai 10 atau anak berhasil 100% dan di kurangi nilainya 2 poin apabila anak tidak bisa menunjukkan dengan benar salah satu anggota tubuhnya. Misalnya ketika peneliti meminta anak untuk menunjukkan mata, anak bisa menunjukkan dengan benar maka anak diberi poin 2 atau anak berhasil 20% ( lampiran VII hal 107 ).
2. Variabel Bebas (intervensi)
Terapi musik diberikan kepada anak autisme dengan maksud agar dapat menimbulkan rangsangan kemauan mengekspresikan dan menyalurkan perasaannya secara lebih bebas. Guru menggunakan terapi musik sebagai media dalam menyalurkan ketegangan emosional, sosial dan psikologik agar terwujudnya cipta, rasa, karsa keindahan yang dinikmati baik dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan digunakannya terapi musik sebagai media dalam pembelajaran, maka tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Terapi musik yang dipergunakan didalam pengenalan anggota tubuh bagian atas dikemas dalam bentuk nyanyian yang diberikan oleh guru ketika melakukan pengenalan anggota tubuh pada anak.
Guru bernyanyi dan membimbing anak untuk mengikuti gerakan yang dilakukan oleh guru, bentuk nyanyian yang diberikan antara lain : “2 mata saya”,” diatas kening kepala namanya”.”dua mata saya untuk melihat”. Target penilaian dalam penelitian ini sesuai dengan berapa jumlah jawaban yang benar ketika anak menunjukkan 5 anggota tubuhnya, kemudian mengumpulkan data tersebut pada format penilaian ( lampiran VII hal 106 ).

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Terapi Musik
1. Pengertian Terapi Musik
Terapi musik berasal dari kata “terapi” dan “musik”. Kata terapi berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong orang dan biasanya digunakan dalam konteks masalah fisik dan mental. Terapi musik merupakan sebuah aplikasi atau penerapan unik dari musik untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan menciptakan perubahan- perubahan positif dalam perilakunya dan juga digunakan oleh guru sebagai peralatan untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik, kesehatan emosi, kemampuan nonverbal, kreativitas dan rasa alamiah dari musik menjadi fasilitator untuk hubungan, ekspresi diri dan pertumbuhan (Djohan :2005).
Terapi musik merupakan cara mudah yang bermanfaat positif bagi tubuh, psikis, meningkatkan daya ingat, dan hubungan sosial, dapat digunakan sebagai kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi dalam musik, agar dapat mengungkapkan dengan segala cara baik menggunakan anggota tubuh, suara, dan alat musik (Bagus marsudi :2008).
Terapi musik merupakan suatu usaha mendidik melalui pelajaran musik untuk menumbuhkan cipta, karsa, rasa estetik anak didik dalam rangka mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikomotorik dan pisiomotorik secara optimum ( Astati :1995 )
Terapi musik merupakan penggunaan musik ( suara, irama, melodi, dan harmoni) oleh seorang guru terhadap anak atau sekelompok anak dalam proses membangun komunikasi , meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas, mengungkapkan ekspresi, menata diri, mengembangkan potensi, memperbaiki fungsi individu atau mencapai tujuan lainnya agar dapat mencapai keberhasilan dan kualitas hidup yang lebih baik (Djohan :2005).
Dari beberapa pengertian diatas dapat dimaknai bahwa terapi musik merupakan suatu sarana, media, alat bantu, dan suatu usaha mendidik melalui pelajaran musik yang menumbuhkan kemauan, cipta, karsa, dan rasa estetik serta dorongan daya kreasi yang dapat diarahkan untuk keperluan pembelajaran, berupa kegiatan memainkan musik, bernyanyi, dan mendiskusikan lirik lagu yang digunakan dalam pembelajaran bukan hanya untuk penyembuhan, akan tetapi juga untuk mengungkapkan ekspresi, mengembangkan potensi, meningkatkan daya ingat dan pengenalan akan pengetahuan kepada anak.
2. Ruang Lingkup Terapi Musik
Ruang lingkup terapi musik tidak terlepas dari ruang lingkup pendidikan musik pada umumnya. Ruang lingkup terapi musik adalah (Astati : 1995) :
a. Mengerakkan tubuh sesuai dengan musik, bunyi atau suara. Gerak tubuh itu meliputi : gerak motorik kasar, halus, keseimbangan, kombinasi gerak.
b. Mendengarkan bunyi, suara atau musik. Bunyi atau suara sehari – hari (bunyi kendaraan, hewan), suara – suara pada musim tertentu (suara burung berkicau), suara – suara di rumah (bunyi bel, telepon, jam), suara -suara penyiar televisi atau radio (dialek, komentator).
Suara – suara yang diciptakan misalnya suara dari mulut (membunyikan fonem o - o – o, atau r - r - r dan sebagainya), suara – suara dengan mengerakkan tubuh (tepuk tangan, petik jari), suara – suara instrumen (piano, gitar dan sebagainya).
c. Menggunakan alat - alat instrumen
Alat – alat yang dibuat sendiri misalnya mengisi botol dengan beras atau garam dengan isi- isi yang berbeda – beda, tutup botol yang dirangkai. Membunyikan alat – alat perkusi, alat – alat musik tiup, atau berupa alat musik modern (piano, gitar), dan lain sebagainya.
d. Membunyikan alat – alat secara bersama – sama
Setiap anak memegang dan bertanggung jawab ata alat yang dipegangnya. Alat itu dibunyikan sesuai dengan tanda – tanda yang diberikan secara serentak, sehingga terbentuklah band sederhana.
e. Menyanyi
Lagu – lagu yang dinyanyikan adalah lagu kanak – kanak, remaja, daerah, nasional, dan lain sebagainya
f. Bergerak atau bermain bersama sesuai dengan musik dan nyanyian. Gerak berdasarkan pola lantai dengan iringan musik yang disesuaikan dengan pola gerak. Dengan demikian terbentuklah sebuah tarian.
3. Manfaat Terapi Musik
Musik telah dikenal sejak lama sebagai salah satu alat yang digunakan untuk memperbaiki kesehatan fisik, interaksi sosial yang positif, ekspresi emosi secara alamiah dan meningkatkan kesadaran diri. Dalam terapi musik biasanya juga dilakukan dengan kegiatan bernyanyi, belajar main musik bahkan membuat lagu pendek dengan kata lain terjadi interaksi yang aktif dengan musik.
Kegiatan bernyanyi juga memiliki manfaat fisik karena itu termasuk dalam aktiftas yang meningkatkan kadar oksigen dalam peredaran darah dan melatih otot utama dari tubuh bagian atas.
Beberapa manfaat terapi musik antara lain (Djohan : 2005) :
a. Sakit, kecemasan dan depresi
Musik dengan nada yang slow, jika didengarkan kepada anak yang sedang mengalami traumatis, atau rasa sakit yang berlebihan serta perasaan depresi, maka secara langsung musik dapat membantu pasien untuk merileksasikan pikiran, perasaan dan menghilangkan rasa sakit sedikit demi sedikit atau rasa cemas serta depresi yang berlebihan. Karena musik yang didengar oleh anak autisme merangsang kinerja otak lebih lambat dan rileks, serta menghilangkan efek ketegangan pada anak.
b. kelainan IQ, emosi, dan fisik
Banyak penelitian mengenai terapi musik terhadap remaja yang mengalami gangguan emosional karena intelegensi rendah, autisme dan gangguan kemampuan belajar, setelah diberikan terapi musik sedikit demi sedikit musik dapat menanggulangi masalah anak dalam belajar.
c. Gangguan neurologis
Kekuatan musik sangat luar biasa pada banyak orang karena kedua belahan hemisfer otak terlibat saat proses mendengarkan musik dan menyehatkan saraf – saraf di otak yang menerima respon terhadap musik yang didengar sehingga dapat memperbaiki kondisi kedua hemisfer yang rusak.
Perilaku sosial dan relasi interpersonal anak – anak yang menderita autisme meningkat setelah mendapat terapi musik, peningkatan juga terjadi pada koordinasi motorik, perilaku komunikasi, kognitif dan bahasanya. Fokus terapi musik untuk anak -anak dengan gangguan autisme secara umum berorientasi pada :
1) Peningkatan koordinasi motorik kasar dan halus
2) Melatih persepsi sensorik dan integrasi sensomotorik (auditorik,visual, taktil, dan kinestetik)
3) Peningkatan rentang perhatian.
4) Pengembangan kesadaran tubuh, mencakup pengetahuan tentang anggota tubuh
5) Pengembangan konsep diri
6) Pengembangan komunikasi verbal dan non verbal
7) Memfasilitasi belajar konsep dasar akademis dan pra akademis
8) Memperbaiki dan mengubah ritualistik dan pola perilaku repetitif
9) Menurunkan kecemasan, tingkat kemarahan dan hiperktivitas.
4. Fungsi Terapi Musik
Fungsi terapi musik dapat ditinjau dari beberapa segi (Andiek Soemarno : 2005) diantaranya:
a. Fungsi Ekspresi
Terapi musik diberikan kepada anak autisme dengan maksud agar dapat menimbulkan rangsangan kemauan mengekspresikan dan menyalurkan perasaannya secara lebih bebas. Guru dapat menggunakan terapi musik sebagai media dalam menyalurkan ketegangan emosional, sosial, dan psikologik agar terwujudnya cipta, rasa, karsa keindahan yang dapat dinikmati baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Fungsi ekspresi pada terapi musik dimaksudkan agar lebih terlihat nyata adanya pelahiran dan cetusan dari apa yang terpendam dalam diri anak, dan suatu yang terpendam itu mungkin mempunyai nilai – nilai positif dalam program pendidikan anak autisme. Melalui terapi musik diharapkan terjadinya pengurangan atau hilangnya ketegangan – ketegangan anak pada aspek emosional, sosial, dan psikologik serta dapat menyalurkan hal itu secara lebih bebas.
b. Fungsi Komunikasi
Kesenian adalah merupakan salah satu media komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung, dan manusia terhadap sesamanya maupun manusia terhadap Tuhannya. Kesenian berfungsi sebagai sarana komunikasi penyampai hal – hal yang terkandung di lubuk hati anak kepada objek yang dituju. Beberapa contoh terapi musik dalam fungsinya sebagai komunikasi diantaranya :
1) Seorang remaja yang sedang jatuh cinta, mengekspresikan rasa cinta kepada kekasihnya dalam bentuk nyanyian, pantun, dan puisi. Bahkan siulan pun dapat merupakan media komunikasi dalam menyampaikan perasaan hatinya.
2) Seorang ibu menimang dan menepuk – nepuk bayinya yang sedang menangis juga merupakan suatu media komunikasi batin ibu kepada anaknya. Bahkan, seorang ibu sering memanggil anaknya dengan kata –kata/ kalimat berirama nada tertentu, sehingga dapat merupakan irama yang berbau seni yang mampu menggerakkan hati anak untuk datang kepadanya.
3) Sekelompok manusia dalam memuja dan menyampaikan rasa syukurnya kepada Tuhan, ada kalanya mempergunakan nyanyian merdu dan diiringi bunyi alat musik yang bermacam – macam. Hal ini pun merupakan sarana komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Demikian pula halnya dalam rangka berbakti dan bersyukur kepada leluhurnya, manusia mempergunakan musik dan lagu untuk berkomunikasi.
4) Bunyi pukulan beduk sahur dan adzan yang merdu, dan bunyi lonceng gereja juga merupakan alat komunikasi dalam persekutuan umat untuk berbakti dan menyembah Tuhannya. Demikian juga halnya terapi musik diberikan kepada anak autisme, agar dapat dijadikan media penyalur emosional, sosial, dan psikologik untuk dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat dan lingkungannya. Dengan cara demikian dapat membantu usaha menghilangkan sikap negatif dari masyarakat kita yang masih menyembunyikan dan menghilangkan anak – anak yang mengalami ketunaan dari dunia luar.
c. Fungsi Kreatif
Setiap manusia normal maupun yang tidak normal mempunyai daya kreasi, hanya kualitas dan derajat kreativitas itu berbeda. Anak autisme juga mempunyai daya kreasi untuk mengekspresikan cipta, karsa, karya keindahannya. Kegiatan terapi musik yang diberikan pertama kali memang hanya berupa kegiatan bermain dengan alat musik dan melakukan kegiatan seperti bernyanyi yang dapat menghasilkan nada dan melodi yang indah serta berguna.
Fungsi kreatif pada terapi musik dapat diberikan oleh guru melalui nyanyian yang memiliki nada dan irama. Terapi musik disini dikemas oleh guru dalam bentuk nyanyian dan disesuaikan dengan apa yang hendak diajarkan kepada anak autism. Dengan dikemasnya terapi musik dalam bentuk nyanyian akan lebih memudahkan guru dalam proses penyampaian tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran.
d. Fungsi Adaptasi dan Fungsi Penyaluran
Fungsi adapatasi adalah fungsi bimbingan dalam membantu guru, bimbingan ini berfungsi sebagai penunjang kegiatan belajar atau latihan, dan juga berfungsi sebagai pembantu orang tua/ keluarga untuk mengadaptasikan cara – cara membimbing anak di rumah menurut kemampuan, ketunaan, dan kebutuhan anak. Fungsi penyaluran bimbingan dalam hal membantu murid untuk mempersiapkan penyaluran ke panti – panti karya yang dilindungi sesuai dengan ketunaan mereka. Kegiatan dalam fungsi bimbingan ini meliputi pula bantuan untuk memilih kegiatan dalam latihan di sekolah.
5. Tujuan Terapi Musik
Tujuan terapi musik adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan Daya Konsentrasi Anak
Konsentrasi sangat dibutuhkan oleh setiap manusia dalam menjalankan tugasnya agar segera menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan yang diharapkan. Kebanyakan anak – anak yang mengalami kelainan mudah sekali kehilangan daya konsentrasinya dalam menerima berbagai pelajaran. Oleh karena itu, dalam kegiatan terapi musik ini guru dapat menjadikan suatu sarana dalam meningkatkan daya konsentrasi anak.
b. Mengembalikan Individu yang Tertutup ke Realitas
Sesuai dengan karakteristik dari anak autisme yang suka menyendiri dan hidup dalam dunianya sendiri, maka peranan terapi musik disini untuk membawa kembali anak kedunia nyata dan mampu melakukan hubungan dengan orang – orang yang ada di lingkungannya. Dengan ransangan berupa alat musik maupun nyanyian maka timbul keinginan anak untuk mengekspresikan dirinya secara lebih bebas serta terbuka rasa individunya yang tertutup tadi guna menuju dunia luar yang nyata (realitas). Dalam hal ini guru harus dapat membentuk suatu media ataupun sarana agar anak semacam ini mau melaksanakan dan mau melibatkan dirinya dalam berbagai bentuk dan cara yang sangat menyenangkan.
c. Melatih Persepsi Anak
Dengan mendengarkan bunyi alat musik dan kegiatan bernyanyi dan bertepuk tangan yang berirama, anak akan terangsang memperhatikan dan menikmati dengan penuh konsentrasi. Adanya bunyi/irama yang teratur itu didengar oleh anak, akan melatih fungsi auditifnya. Apabila anak sering mendengarkan bunyi alat musik dan nyanyian, maka anak akan tertarik dan timbul keinginan untuk memainkan dan menyanyikan lagu yang sering di dengarnya itu, mereka menggunakan fungsi visual dan auditifnya untuk memperhatikan setiap bunyi irama yang keluar dari alat musik dan nyanyian. Oleh karena itu terapi musik diberikan kepada anak autisme agar berguna sebagai penggugah auditif dan visualnya secara baik.
d. Menimbulkan Harga Diri pada Anak
Anak autisme cenderung tidak peduli dengan lingkungannya, dan anak yang mengalami kelainan yang lain juga mengalami hal serupa, akan tetapi mereka lebih cenderung merasa harga diri mereka ditengah – tengah masyarakat dianggap rendah dan tidak diperhitungkan. Dengan adanya terapi musik sebagai tempat penyaluran dan media dalam pembelajaran anak dapat dilatih untuk memainkan alat musik dan menyanyikan lagu – lagu yang memiliki irama dan melodi yang teratur, dengan adanya kemampuan yang bisa ditunjukkan kepada masyarakat maka masyarakat tidak lagi menganggap kalau anak – anak yang mengalami kelainan tidak pantas mendapat hak dalam masyarakat.
e. Mengurangi Kekakuan Otot – otot
Latihan terapi musik, merupakan ajakan bernyanyi, bertepuk tangan, dan membunyikan alat musik tertentu, guna merangsang anak untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Dengan rangsangan melalui irama musik, anak sedikit demi sedikit mampu menggerakkan anggota tubuhnya yang kaku atau lemah untuk melakukan tugas tertentu. Agar lebih efisien dengan hasil yang diinginkan dan berpengaruh positif pada anak maka terapi musik dapat diberikan secara individual.
f. Membentuk kembali Hubungan Interpersonal
Untuk menunjang keberhasilan dalam mencapai tujuan untuk membentuk hubungan interpersonal, maka kegiatan terapi dapat diberikan dalam kegiatan berkelompok menurut tingkat kelas. Walaupun melakukan tugas yang berbeda dalam kelompok, tapi mereka memerlukan kekompakkan guna menghasilkan cipta rasa keindahan yang terpadu dan serasi.
g. Meningkatkan Pengenalan dan Pengetahuan tentang Musik
Kegiatan terapi musik dimulai dengan menggunakan alat musik yang sederhana seperti : bertepuk tangan, memukul gendang, memukul alat -alat dapur yang mengeluarkan suara musik sederhana. Dengan alat musik yang sederhana tidak berarti mengurangi nilai keindahan dari potensi yang terkandung dari alat musik tersebut. Diharapkan dengan alat musik yang sederhana anak akan mampu berkarya seni yang indah dan patut dinikmati.
Terapi musik memperkenalkan berbagai alat musik tradisional dan cara memainkannya dalam mengiringi lagu –lagu tradisional, serta lagu daerah. Terapi musik juga memberikan cara memainkan musik dalam mengiringi lagu –lagu dan menyanyikan lagu – lagu tersebut dan memberi pengetahuan kepada anak tentang berbagai hal dalam ilmu pengetahuan yang diberikan melalui musik dan nyanyian.
h. Menghilangkan Kelelahan dan Menciptakan Suasana Santai
Pada dasarnya seni musik, seni tari, seni suara, dan seni drama yang baik bila dinikmati akan menjadi hiburan segar yang dapat menghilangkan kelelahan jasmani dan ketegangan rohani, serta menghilangkan perasaan negatif pada manusia. Hilangnya kelelahan dan ketegangan – ketegangan itu akan menimbulkan suasana santai pada diri anak autisme. Dengan adanya berbagai macam tugas sekolah yang harus dijalankan oleh anak, maka dengan terapi musik dapat menimbulkan ketenangan yang positif dan mengatasi kelelahan yang dialami oleh anak.
6. Proses dan Langkah – langkah Terapi Musik
a. Proses terapi musik
Proses kegiatan terapi musik dapat dilakukan oleh seorang dokter, guru, psikolog, maupun orang tua yang memiliki anak ataupun kerabat yang mengalami kelainan. Kreatifvitas dan improvisasi serta kemampuan bersikap lentur ketika melaksanakan kegiatan terapi musik sangatlah diperlukan oleh orang yang melaksanakan kegiatan terapi, untuk mengembangkan rancangan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan anak.
b. Langkah - langkah dalam pelaksanaan terapi musik
Adapun langkah – langkah yang dikerjakan dalam pelaksanaan terapi musik (Djohan : 2006) adalah :
1) Asessmen
Asessmen merupakan hal yang pertama kali dipenuhi untuk memulai suatu tindakan terapi musik. Di dalam asessmen guru melakukan observasi, sehingga memperoleh gambaran yang lengkap tentang latar belakang, keadaan sekarang dan keterbatasan anak autisme dan mengoptimalkan potensi – potensi yang masih dapat dikembangkan.
Adapun aspek yang dilihat ketika melaksanakan asesmen adalah:
(a). Kognitif (data yang dikumpulkan meliputi konsentrasi, pemahaman, rentang perhatian, memori dan kemampuan pemecahan masalah), (b) Sosial (termasuk ekspresi diri, kontrol diri), (c) Fisik (rentang gerak, koordinasi motorik kasar dan halus, (d) Emosional (termasuk respon emosi yang kuat pada berbagai situasi), (e) Komunikasi (keterampilan ekspresi dan pemahaman bahasa).
Dalam melakukan asesmen ini guru harus sudah dapat menentukan siapa yang dijadikan target sasaran perlakuan. Setelah itu guru dan anak juga harus membangun hubungan yang baik.
2) Rencana perlakuan
Rencana perlakuan yang diberikan kepada anak tergantung dari hasil asesmen yang dilakukan. Jika anak lebih banyak terhambat dalam segi fisik maka terapi musik yang diberikan haruslah bersifat untuk memperbaiki kekurangan yang terdapat dalam fisik anak, jika anak lebih banyak terhambat dalam segi komunikasi maka terapi musik yang diberikan untuk memperbaiki kekurangan dari komunikasi tersebut.
Durasi waktu melakukan terapi, materi yang diberikan semua harus direncanakan. Perlu diingat oleh guru jika sasaran atau objek telah mengalami perubahan atau perbaikan maka kegiatan terapi perlu dihentikan. Sedangkan jika sasaran atau objek belum menunjukkan perubahan yang berarti maka perlu dilakukan pengembangan dalam melaksanakan tindakan.
Dalam melakukan rencana perlakuan ini seorang guru harus jelas bagaimana melaksanakan kegiatan terapi dan fungsi terapi musik untuk apa diberikan kepada anak. Ada tiga macam strategi yang digunakan oleh seorang guru dalam melaksanakan kegiatan terapi sesuai dengan kebutuhan anak, yakni :
a). Musik sebagai penguat
(1) Seorang guru musik harus menentukan batasan yang tepat untuk musik dijadikan penguat, termasuk bagaimana dan kapan musik harus diberikan.
(2) Proses pemberian musik sebagai reward dan punishment secara terus menerus dapat menghasilkan perilaku yang diinginkan.
(3) Pemberian terapi harus dilakukan secara konsisten.
b). Musik sebagai ganjaran
Maksud musik sebagai ganjaran adalah jika anak melakukan kegiatan yang salah maka anak yang suka dengan musik, tidak diperbolehkan bermain dengan musik sampai anak memperbaiki kesalahannya.
c). Manfaat bagi keterampilan non musik
(1) Materi akademis dapat diajarkan melalu musik. Ketika anak bertepuk tangan dengan irama berarti anak telah menggunakan matematika sederhana.
(2) Bernyanyi dan memainkan alat musik tiup sebenarnya melatih pernapasan dan artikulasi yang benar. Meningkatkan rentang suara dan memperbaiki intonasi jelas menguntungkan perkembangan bahasa.
(3) Memainkan beberapa lagu – lagu sederhana sambil bertepuk tangan dan menunjuk anggota tubuh dari nyanyian yang dinyanyikan membantu anak dalam mencapai kemampuan dasar seperti berhitung, kesadaran tubuh, dan pengetahuan – pengetahuan yang sederhana, pengalaman konsep abstrak, seperti naik turun, panjang pendek, warna warni, besar kecil.
(4) Melalui bermain dan bernyanyi dapat meningkatkan kepercayaan diri seorang anak.
3) Pencatatan
Semua kejadian mulai dari perencanaan sampai akhir kegiatan haruslah dicatat. Jika ada perubahan baik itu bentuknya perkembangan atau penurunan setelah diberikan terapi musik maka harus dicatat.
4) Evaluasi dan terminasi perlakuan
Langkah terakhir adalah mengevaluasi dan melakukan terminasi perlakuan. Pada bagian ini guru menyiapkan kesimpulan akhir dari proses perlakuan dan membuat rekomendasi untuk ditindak lanjuti.
7. Pelaksanaan Terapi Musik untuk Anak Autisme
Terapi musik dibangun dengan menggunakan pengalaman- pengalaman musik yang mengharapkan adanya perubahan – perubahan positif dalam tingkah laku anak autisme.
Terapi musik menyediakan sebuah permulaan objek hubungan dengan instrumental, suara dari pada sebuah perlakuan, suara hati dan rasa dari musik tersebut akan lebih menenangkan hati (Handojo : 2003).
Sebuah kemajuan dari individu yang menyandang autisme yaitu dengan adanya pemberian terapi musik sebagai media dalam pembelajaran yang efektif, sehingga mereka dapat melakukan hubungan sosial yang baik dengan lingkungan.
Untuk anak autisme dengan karakteristik yang berbeda – beda, pelatihan perlakuan yang direncanakan dengan masukan dari orang tua, guru, dan terapis lain. Langkah – langkah pengembangannya seperti menambah kemampuan berbicara, bahasa, kognitif kesadaran tubuh, kemampuan motorik, dan kemampuan merespon sosial serta emosional. Pelaksanaan terapi musik pada anak dengan autisme perlu memperhatikan hal – hal sebagai berikut:
a. Kondisi anak autisme
Keadaan anak autisme itu berbeda satu sama lain, tergantung pada gradasi autisme yang dideritanya. Karakter dari masing – masing anak perlu diketahui untuk memberikan terapi.
b. Bahasa yang digunakan.
Mengingat keterbatasan anak dalam berkomunikasi, bahasa, kesadaran tubuh yang digunakan dalam terapi harus sederhana dan dimengerti anak.
c. Tenaga guru
Sebaiknya guru yang akan memberikan terapi pada anak mengenal karakteristik anak terlebih dahulu.
d. Tempat dan latihan guru.
Terapi musik dapat dilakukan di ruangan yang biasa, dengan menggunakan lagu, kaset atau instrumen musik lainnya.
e. Strategi pendekatan
Terapi musik dapat diberikan secara klasikal atau individual, bagi anak autisme lebih efektif diberikan secara individual.
Terapi musik lebih difokuskan untuk melatih anak autisme untuk menyadari anggota tubuh yang dimilikinya. Caranya dengan menggunakan musik sebagai media relaksasi. Jenis musik yang digunakan berupa musik nyanyian yang berhubungan dengan irama dari anggota tubuh.
B. Pengenalan Anggota Tubuh
1. Pengertian Anggota Tubuh
Anggota tubuh merupakan anggota badan seluruhnya atau segenap bagian manusia yang berupa benda yang kelihatan (Budiono : 2005). Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ, masing – masing dengan fungsinya yang khusus untuk dilaksanakan. Banyak bagian tubuh yang terletak simetris misalnya anggota gerak mata dan telinga, paru – paru dan ginjal. Akan tetapi juga terdapat banyak susunan tubuh limpa terletak disebelah kanan, pankreas terletak sebagian di kiri dan sebagian di kanan .
Tubuh manusia dipelajari dalam keadaan berdiri tegak dengan kedua lengan disisi terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan, kepala tegak dan mata tertuju lurus ke depan, letak berbagai bagian tubuh dilukiskan dengan memperbandingkannya pada garis – garis dan bidang- bidang hayal atau imajiner (Evelyn C Pearce :2005).
Dapat disimpulkan bahwa anggota tubuh merupakan keseluruhan bagian dari anggota badan mulai dari kepala yang terletak paling atas dan kaki yang terletak pada bagian bawah yang masing – masing memiliki susunan yang bermacam – macam dan melaksanakan fungsinya masing –masing.
2. Fungsi Anggota Tubuh
Anggota tubuh yang tersusun dengan bermacam – macam organ yang terdiri dari : kepala, mata, hidung, telinga, tangan, kaki, muka, leher, rambut, lidah, gigi, bibir, pipi, dan organ bagian dalam lainnya yang mempengaruhi stuktur tubuh.
Beberapa fungsi anggota tubuh diantaranya :
a. Kepala
Kepala merupakan bagian tubuh dari leher keatas yang menjalankan fungsinya sebagai sesuatu yang terpenting, terutama, dan yang pokok dalam menjalankan aktifitas. Kepala dikendalikan oleh otak sebagai tempat pikiran dan perhitungan untuk melakukan suatu tindakan.
b. Mata
Mata adalah alat indra pada tubuh yang dipakai untuk melihat dan sangat penting untuk dipelihara dengan sebaik mungkin dari dampak lingkungan (Budiono : 2005). Selain fungsinya untuk melihat dan menangkap sinar yang dipantulkan lalu di terima oleh mata, mata juga memiliki makna yang mendalam apabila di hubungkan dengan kehidupan sehari – hari, ada istilah yang mengatakan kalau mata adalah cerminan hati. Dengan sepasang mata yang dimiliki kita dapat menikmati keindahan dunia dan kebesaran Tuhan.
c. Hidung
Hidung merupakan alat pencium dan penghirup hawa atau aroma, letaknya disebelah atas mulut. Bagian – bagiannya ialah : batang hidung, lubang hidung, dan pangkal hidung.
d. Mulut
Mulut merupakan rongga atau lubang tempat gigi dan lidah bagi manusia dan makhluk lainnya. Fungsinya sebagai alat untuk mengunyah makanan dan juga tempat keluarnya suara dari pita suara dan menyampaikan informasi dan melakukan percakapan.
e. Telinga
Merupakan alat pendengar yang berfungsi untuk mendengar dan menyaring bunyi yang masuk ke dalam telinga yang tampak di kanan kiri kepala manusia. Telinga memiliki bagian –bagian diantaranya : kulit selaput dalam telinga untuk menggetarkan suara, daun telinga sebelah luar untuk menangkap suara atau bunyi.
3. Gambar bagian – bagian anggota tubuh
a. Kepala
b. Mata
c. Hidung
d. Mulut
e. Telinga
C. Autisme
1. Pengertian Autisme
Secara etimologi kata autisme berasal dari kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti paham atau aliran. Penyandang autisme seakan – akan hidup di dunianya sendiri, istilah autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner. Autisme merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan bersosialisasi ( berhubungan) dengan orang lain dan lingkungannya, ini disebabkan oleh ketidakmampuan seorang penyandang autisme untuk mengerti perasaan orang lain (Handojo :2003).
Autisme adalah kelainan perkembangan yang secara mendasar berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan nonverbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun dan berpengaruh kurang baik pada perkembangan akademik, dan juga berpengaruh pada perilaku yang cenderung dilakukan berulang –ulang secara terus menerus dan bahkan melukai dirinya sendiri untuk mengungkapkan atau mengatakan perasaan tidak senang (Djaja Rahardja :2006).
Pengertian autisme juga dapat diartikan sebagai suatu paham atau aliran yang hanya tertarik pada dunianya sendiri, perilakunya timbul semata – mata karena dorongan dari dalam dirinya dan seakan – akan tidak peduli dengan stimulus –stimulus yang datang dari orang lain ( Yosfan Azwandi : 2005).
Autisme merupakan kondisi yang dialami oleh seseorang sejak lahir ataupun masa balita yang mengakibatkan mereka tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi seperti orang lain dan terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunianya sendiri yang tidak peduli dengan orang lain serta adanya hambatan dan gangguan dalam aktifitas dan minat (Rudy Sutadi :2003).
Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian diatas bahwa autisme merupakan gangguan perkembangan yang dialami sejak lahir dan sebelum berusia tiga tahun, berpengaruh pada perkembangan akademik, perilaku berulang – ulang secara terus menerus dan bahkan melukai dirinya sendiri untuk mengungkapkan perasan tidak senang dan tidak peduli dengan stimulus yang datang dari orang lain yang menyebabkan terjadinya gangguan pada perkembangan sosialisasi, perilaku, komunikasi, minat dan aktifitas.
2. Faktor Penyebab Autisme
Tidak ada satu orangpun yang dapat memastikan penyebab dari pada autisme. Ada tiga lokasi di otak yang mengalami kelainan, mulai dari anatomis pada lobus parietalis yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan pada proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian) mengakibatkan kekacauan lalu lalang impuls di otak yang mengakibatkan anak agresif atau sangat pasif. Faktor genetika diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autisme. Pada kehamilan trisemester I yaitu 0 – 4 bulan, faktor pemicunya terdiri dari infeksi, zat adiktif (MSG, pengawet). Pada proses kelahiran yang lama (partuslama) dimana terjadi gangguan nutrisi dan oksigenasi pada janin, pemakaian forsep bahkan sesudah lahir (post partum) terjadi pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya infeksi ringan, berat badan bayi, imunisasi measles mumps rubella (MMR) dan hepatitis B (Handojo : 2003).
Faktor penyebab lain terjadinya autisme (Djaja Rahardja : 2006) antara lain :
a. Faktor kromosom dan genetik
Sekitar 25 % kasus autisme disertai dengan adanya kelainan genetik, dan abnormalitas kromosom pada autisme menunjukkan tidak adanya keserasian yang berpengaruh pada timbulnya autisme. Meskipun autisme tidak dapat di deteksi dalam kandungan, konseling genetik mungkin berguna bagi keluarga yang mempunyai resiko lahirnya seorang anak autisme.
b. Pelecehan pada janin saat hamil
Autisme dihubungkan dengan adanya pelecehan selama atau setelah kehamilan, termasuk di dalamnya kurangnya oksigen ketika melahirkan dan keracunan. Urutan kelahiran dapat juga menjadi faktor penyebab autisme, misalnya anak pertama lebih banyak dari dua orang anak dalam keluarga, atau keempat atau lebih pada keluarga dengan empat anak atau lebih. Autisme juga dapat muncul karena adanya ketidak normalan fungsi sistem syaraf pusat.
c. Abnormalitas struktur otak
Adanya ketidakberfungsian cerebellum, sistem limbic, temporal dan korteks yang terjadi pada individu yang mengalami autisme.
d. Faktor lingkungan
Adanya ketidakberfungsian kekebalan tubuh (immune) dapat berinteraksi dengan faktor lingkungan untuk memainkan peranan timbulnya autisme, juga meliputi alergi makanan, khususnya terhadap susu, gandum, dan ragi. Kekurangan vitamin juga bisa mengakibatkan timbulnya autisme, vitamin B6 dan magnesium dapat meningkatkan metabolisme anak- anak dengan autisme dan normalisasi aktifitas gelombang otak.
Dari beberapa faktor penyebab terjadinya autisme dapat di simpulkan bahwa penyebab autisme di dukung oleh banyak faktor (multifaktorial) meliputi penyebab genetik dan lingkungan.
3. Karakteristik Anak Autisme
Apabila dilihat dari penampilan luar secara fisik, anak – anak penyandang autisme tidak berbeda dengan anak – anak lain pada umumnya. Perbedaan anak autisme dengan anak normal dapat dilihat apabila mereka melakukan aktifitas sendiri seperti : berkomunikasi, bermain dan sebagainya. Dengan memahami karakteristik anak penyandang autisme, kita dapat membedakannya dengan anak normal lainnya.
Ada beberapa karakteristik anak autisme (Yosfan Azwandi : 2005) antara lain :
a. Karakteristik dari segi interaksi sosial
Penyandang autisme dapat dikenal dengan mengamati interaksi sosialnya yang ganjil dibandingkan anak pada umumnya, seperti :
1) Menolak bila ada yang hendak memeluk
2) Tidak mengangkat kedua lengannya bila diajak untuk di gendong
3) Ada pandangan mata yang abnormal
4) Gagal menunjukkan suatu objek kepada orang lain
5) Sebagian anak autistik acuh dan tidak bereaksi terhadap pendekatan orang tuanya, sebagian lain malahan merasa terlalu cemas bila berpisah dan melekat pada orang tuanya
6) Gagal dalam mengembangkan permainan bersama teman – teman sebayanya, mereka lebih suka menyendiri
7) Keinginan untuk menyendiri sering tampak pada masa kanak – kanak dan akan makin berkurang sejalan dengan bertambanya usia
8) Tidak mampu memahami aturan – aturan yang berlaku dalam interaksi sosial
9) Tidak mampu untuk memahami ekspresi wajah orang ataupun untuk mengeskpresikan perasaannya baik dalam bentuk vokal ataupun dalam ekspresi wajah
b. Karakteristik dari segi komunikasi dan pola bermain
Sekitar 50% anak – anak dengan autisme mengalami keterlambatan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara, bila ada orang yang berbicara sering mereka tidak mampu memahami ucapan yang ditujukan pada mereka. Bila tertarik dengan suatu objek atau benda, biasanya mereka tidak menunjuk atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan keinginannya, tetapi mengambil tangan orang tuanya untuk dipakai mengambil objek yang dimaksud.
Anak – anak ini juga mengalami kesukaran dalam berkomunikasi walaupun mereka dapat berbicara dengan baik, karena mereka tidak tahu kapan gilirannya berbicara, bagaimana memilih topik pembicaraan, mereka sering mengulang – ulang pertanyaan walaupun mereka telah mengerti jawabannya atau memperpanjang topik pembicaraan yang mereka sukai tanpa mempedulikan lawan bicaranya.
Anak – anak penyandang autisme sering berbicara monoton, kaku, dan menjemukan. Mereka sukar mengatur volume dan intonasi suaranya, tidak tahu kapan merendahkan volume suara. Dalam komunikasi nonverbal mereka juga mengalami gangguan. Mereka sering tidak menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi untuk mengekspresikan perasaannya dan untuk merasakan perasaan orang lain.
c. Karakteristik dari segi minat dan aktifitas
Pada aspek aktifitas dan minat, anak autistik memperlihatkan abnormalitas dalam bermain, seperti stereotip atau diulang – ulang dan tidak kreatif. Mereka menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru, misalnya mereka akan mengalami kesukaran bila jalan yang biasa di tempuh ke sekolah di ubah atau piring yang biasa dipakainya untuk makan diganti. Dalam minat yang sering aneh dengan membuang waktu berjam –jam hanya untuk memainkan saklar listrik, memutar – mutar botol.
Gerakan – gerakan stereotipe tampak pada hampir semua anak – anak penyandang autisme, seperti menggoyang – goyangkan tubuh, menyeringai, menggerakkan jari jemarinya di depan mata dan menyukai objek yang berputar seperti kipas angin dan mesin cuci.
Karakteristik lain yang membedakan anak autisme dengan anak normal lainnya, Dimulai pada usia awal dan biasanya berlanjut selama hidupnya, individu dengan kelainan autisme mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara baik dengan orang lain. Mereka biasanya memiliki kelainan yang cukup luas dalam berbahasa dan berkomunikasi.
Beberapa karakteristik lain dari anak autisme (Djaja Rahardja : 2006) antara lain :
a. Karakteristik kognitif dan akademik
Anak – anak dengan autisme sering memiliki pola yang tidak tetap dari kekuatan dan kelemahan kognitif dan akademiknya. Kebanyakan individu – individu dengan kelainan autisme mempunyai beberapa tingkat ketunagrahitaan, baik rata – rata dan diatas rata – rata. Gambaran unik dari anak – anak penyandang autisme membuat mereka terpisah dan kadang – kadang memunculkan tantangan yang signifikan terhadap mereka yang memberikan layanan.
Masalah atau karakteristik akademik anak -anak penyandang autisme secara garis besar terdiri atas tiga bagian yaitu : memori berputar, teori mind, pemecahan masalah, dan motivasi. Memori berputar adalah kemampuan mengingat sesuatu tanpa perlu mengetahui apa yang dimaksudnya, anak – anak penyandang autisme dapat memberikan kesan bahwa mereka mengerti konsep tertentu padahal kenyataannya tidak demikian, contohnya anak penyandang autisme mungkin mendengar kata atau kalimat tertentu dalam suatu obrolan dan kemudian mempergunakannya dalam memori berputar dengan mimik memahami, meskipun sebagian besar informasi dapat disimpan dalam ingatannya, namun mereka mengalami masalah untuk mengingat kembali.
Salah satu kurangnya kognitif pada anak dengan autisme adalah teori mind atau teori pikiran. Kesulitan dalam teori ini terlihat ketika anak penyandang autisme kesulitan menjelaskan perilaku yang dimilikinya, memperkirakan emosi dan perilaku orang lain, memahami pandangan orang lain, memahami bagaimana perilaku berpengaruh terhadap pikiran dan perasaan orang lain, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan membedakan kenyataan dari khayalan.
Penyandang autisme mungkin mampu menceritakan beberapa strategi pemecahan masalah dan melaporkan dengan lisan secara umum, tetapi dia sering tidak mampu untuk mengingat kembali strategi – strategi tersebut apabila dibutuhkan, contohnya seorang anak dengan autisme telah belajar bahwa jika tidak yakin bagaimana menemukan kelasnya, dia dapat bertanya pada teman – teman yang lain akan tetapi ketika dia kehilangan orientasi, dia tidak dapat mengingat apa yang harus dilakukan dan mulailah muncul rasa takut.
Motivasi juga merupakan salah satu kesulitan kognitif dan akademik yang dihadapi oleh anak dengan autisme, mereka umumnya tertarik hanya pada sejumlah kecil aktifitas atau penghargaan dan mereka dapat berubah sesuai kesukaannya.
b. Karakteristik sosial dan emosi
Tantangan sosial dan emosional yang dihadapi oleh anak – anak penyandang autisme secara langsung berhubungan dengan kebutuhan khususnya, seperti : kelainan bahasa, penggunaan bahasa yang tidak biasa, dan ketidak matangan. Kelainan bahasa menjadikan dampak yang negatif terhadap kemampuan dirinya untuk berinteraksi baik dengan teman – temannya. Satu karakteristik yang unik pada individu dengan autisme adalah adanya maksud untuk berkomunikasi, mereka mungkin tidak berkomunikasi untuk menarik perhatian orang lain, dan mereka mungkin tidak berkomunikasi untuk tujuan sosial.
Hampir 50% individu – individu dengan autisme adalah nonverbal, dimana mereka memiliki sedikit atau tidak sama sekali bahasa verbal, mereka yang memiliki keterampilan verbal sering berhubungan dengan mengulang – ulang kata atau kalimat yang telah diucapkan oleh orang lain yang sedikit atau bahkan tidak difahami sama sekali artinya (echolalia).
c. Karakteristik perilaku
Beberapa perilaku yang dihadapi anak – anak penyandang autisme adalah masalah perilaku, seperti : pemilihan rangsangan yang berlebihan, perilaku merangsang diri, kesulitan menggeneralisir, dan respon sensoris. Pemilihan rangsangan yang berlebihan terjadi ketika anak dengan autisme memperhatikan hanya satu objek atau benda untuk memahami, atau dia hanya mempunyai satu pola dalam merespon dengan sedikit mempergunakan pengetahuannya. Perilaku merangsang diri merupakan sesuatu yang umum pada anak dengan autisme, perilaku ini biasanya dilakukan dalam bentuk menggerak – gerakkan badan, menepuk – nepuk tangan, dan banyak pola perilaku yang mengulang dan stereotipe lainnya yang muncul dengan tidak mempunyai maksud yang jelas.
Tantangan besar yang dihadapi oleh seorang pendidik dalam menangani anak – anak penyandang autisme adalah kesulitan dalam mengalihkan informasi terhadap keadaan, individu dan kondisi lainnya yang baru. Akibatnya anak mampu mengerjakan tugas di suatu kelas akan tetapi tidak dapat diasumsikan secara otomatis anak dapat mengerjakan tugas dikelas yang lainnya.
Para pendidik harus memberikan perhatian terhadap pengembangan strategi agar anak mampu mempergunakan informasi dan keterampilan. Anak- anak ini juga mempunyai kesulitan dengan indra - indra seperti: indra perabaan, keseimbangan, penglihatan, pendengaran, perasa, dan penciuman. Karena indra pendengaran cenderung yang paling kuat pada anak dengan autisme, maka alat bantu visual sering dipergunakan untuk membantu dalam belajar.
D. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka berpikir peneliti tentang pelaksanaan penelitian, sehingga lebih memudahkan peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini. Adapun kerangka berpikir penulis dalam penelitian ini berawal dari peneliti menemukan seorang anak autisme yang belum mengenal anggota tubuh dan belum bisa menunjukkannya. Kemudian peneliti memberikan treatment atau perlakuan melalui terapi musik (kegiatan bernyanyi). Hasil dari treatment akan menemukan kemampuan akhir dari anak autisme di dalam mengenal anggota tubuh bagian atas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terapi musik efektif dalam pengenalan anggota tubuh terhadap anak autisme, untuk memperjelas penelitian ini maka dibuat kerangka konseptual :
Anak Autisme
Bagan I Kerangka Konseptual

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diteliti yaitu “Efektifitas terapi musik dalam pengenalan anggota tubuh pada anak autisme kelas persiapan di SLB Perwari Padang”, maka penelitian yang ingin calon peneliti lakukan berbentuk eksperimen dalam bentuk single subject research ( SSR ). Eksperimen merupakan suatu kegiatan percobaan yang dilakukan untuk meneliti suatu peristiwa atau gejala yang muncul terhadap suatu kondisi tertentu. Bentuk SSR yang digunakan adalah desain A – B yang terdiri dari A sebagai phase Baseline (kondisi awal) dan B sebagai phase Intervensi (perlakuan), berarti yang akan dilihat yaitu kemampuan awal anak sebelum diadakan intervensi dan kemampuan akhirnya setelah diadakan intervensi ( Juang Sunanto : 2005).
Penelitian ini menggunakan bentuk desain A – B, prosedur desain A – B disusun atas dasar logika baseline, logika baseline menunjukkan suatu pengulangan pengukuran perilaku pada sekurang – kurangnya dua kondisi yaitu: kondisi baseline (A) dan kondisi intervensi (B). Kondisi baseline adalah kondisi dimana pengukuran target behavior dilakukan pada keadaan natural sebelum memberikan intervensi apapun, kondisi eksperimen atau intervensi adalah kondisi dimana suatu intervensi telah diberikan dan target behavior diukur dibawah kondisi tersebut ( Juang Sunanto : 2005). Secara umum desain A – B dapat digambarkan sebagai berikut :
Phase Baseline adalah phase saat variabel terikat (target behaviuor) di ukur secara periodik sebelum perlakuan tertentu diberikan. Dalam hal ini berapa kali anak dapat melakukan dengan benar sebelum perlakuan diberikan. Phase treatment adalah suatu phase pada saat variabel terikat (target behavior) diukur selama perlakuan tertentu diberikan. Dalam hal ini berapa kali anak dapat menunjukkan dengan benar setelah perlakuan diberikan.
Langkah pertama yang peneliti lakukan yaitu : memilih subjek untuk eksperimen, kemudian diadakan observasi atau mengukur perilaku secara berulang –ulang sampai di peroleh hasil yang stabil dan konsisten dalam kondisi Baseline (A), selanjutnya peneliti memberikan perlakuan eksperimen kepada subjek dan di lakukan evaluasi terhadap hasilnya, sehingga diperoleh data pengamatan selama kondisi intervensi (B).
Yang menjadi phase A atau baseline yaitu : kemampuan awal anak autisme dalam mengenal anggota tubuh sebelum diberikan terapi musik, sedangkan yang menjadi phase B atau intervensi yaitu : kemampuan anak dalam mengenal anggota tubuh setelah diberikan terapi musik.
B. Variabel Penelitian
Variabel merupakan istilah dasar dalam penelitian eksperimen termasuk penelitian dengan subjek tunggal. Dalam penelitian eksperimen, variabel merupakan suatu atribut atau ciri – ciri mengenai sesuatu yang diamati dalam penelitian ( Juang Sunanto : 2005 ). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
a. Variabel Terikat ( target behaviour ) dalam penelitian ini adalah persentase jumlah jawaban benar anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas meliputi: kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut.
b. Variabel Bebas ( Intervensi ) yang digunakan dalam penelitian ini adalah terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian yang dipermasalahkan melekat ( Suharsimi Arikunto : 2003). Pada penelitian SSR subjek penelitian digunakan subjek tunggal. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek adalah seorang anak autisme yang beridentitas x di SLB Perwari Padang Kelas Persiapan II. Anak berumur 7 tahun dengan jenis kelamin laki – laki, secara fisik anak x memiliki ciri – ciri fisik yang sama dengan anak lainnya, maksudnya anak tidak memiliki kekurangan dari segi fisik dan mampu menggunakan anggota fisiknya dengan baik, akan tetapi apabila anak menangis dan menjerit maka wajah anak terlihat ada bintik berwarna kemerah –merahan. Anak belum mampu menunjukkan anggota tubuh bagian atas dengan benar, pembelajaran tentang anggota tubuh dipelajari pada mata pelajaran IPA, dengan adanya mata pelajaran yang berkaitan dengan pengenalan tentang anggota tubuh, maka diharapkan anak mampu menunjukkan dengan benar dan pembelajaran selanjutnya dapat diberikan..
Pembelajaran tentang anggota tubuh seharusnya sudah dikuasai oleh anak di sekolah dengan pembelajaran yang diberikan oleh guru kelas, akan tetapi karena guru kelas memberikan pembelajaran dengan terfokus pada metode ceramah dan instruksi serta kurang bervariasinya media yang diberikan membuat anak merasa bosan dan tidak memiliki keinginan untuk belajar serta ingin keluar kelas. Peneliti memilih anak autisme x sebagai subjek dalam penelitian ini karena subjek memiliki kesenangan dan ketertarikan dengan suara, nada, vibrasi yang berbentuk nyanyian dan alat musik.
D. Setting
Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yaitu di rumah subjek yang beralamat di Jl. Rawang Tunggul Hitam Padang dan di SLB Perwari Padang yang beralamat di Jl. S. Parman No. 236 Ulak Karang Padang. Dari sekian banyak SLB di kota Padang, SLB Perwari merupakan satu – satunya SLB yang sangat strategis dari segi geografis. Karena ia terletak tepat di tepi jalan raya, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat luar dari berbagai arah. Peneliti melakukan penelitian di ruangan kelas subjek yang berukuran 4x3 meter, disini peneliti melakukan kegiatan observasi dan identifikasi kepada anak serta wawancara yang dilakukan terhadap guru kelas.
Selain itu peneliti melakukan penelitian di rumah subjek dikarenakan kondisi tempat dan waktu belajar anak di sekolah akan terganggu dan tidak efektif apabila peneliti juga melakukan kegiatan penelitian secara intensif di sekolah. Selain itu, juga untuk menunjang hasil data yang ingin diperoleh oleh peneliti agar lebih maksimal. Penelitian dilakukan diruangan rumah subjek yang berukuran 3 x 4 meter, diruangan itu terdapat meja, kursi dan sebuah kaca atau cermin besar yang digunakan pada saat penelitian.
E. E. Teknik dan Alat Pengumpul Data
1.Teknik pengumpul data
Data dikumpulkan oleh peneliti melalui observasi, wawancara dan tes. Observasi peneliti lakukan dengan melihat kondisi anak mengikuti pembelajaran di dalam kelas dengan guru kelas. Wawancara dilakukan terhadap guru kelas tentang kemajuan dan hambatan apa saja yang menjadi kendala bagi anak dalam proses pembelajaran dan kemajuan yang dialami oleh anak. Sedangkan untuk tes, peneliti menggunakan tes dengan menggunakan teknik tes dalam bentuk perbuatan, yaitu menugaskan atau meminta anak menunjukkan anggota tubuhnya bagian atas melalui media asli pada phase Baseline (A) dan menggunakan terapi musik dalam bentuk nyanyian pada phase intervensi (B), sebelum memberikan tes, peneliti melakukan intervensi dengan langkah – langkah sebagai berikut :
a. Peneliti melakukan terapi musik yang di kemas dalam bentuk nyanyian yang diberikan pada anak dengan posisi duduk atau berdiri, peneliti meminta anak berdiri di depan cermin yang telah disediakan dan didampingi oleh seorang shadow yang berdiri di belakang anak, peneliti memulai kegiatan bernyanyi tentang anggota tubuh bagian atas dengan cara bernyanyi sambil menunjukkan anggota tubuhnya, dan shadow membimbing anak untuk menunjukkan anggota tubuh anak di depan cermin yang telah disediakan. Kegiatan bernyanyi ini dilakukan berulang – ulang sampai anak sudah merasa lelah dan ingin istirahat. Nyanyian yang diberikan kepada anak saat melakukan intervensi bermacam – macam diantaranya : ” dua mata saya untuk melihat, hidung saya satu untuk mencium, dua telinga saya untuk mendengar, satu kepala saya untuk berpikir, mulut saya satu untuk bicara”. ”dua mata saya, hidung saya satu, dua telinga saya yang kiri dan kanan,satu kepala saya, mulut juga iya”. ”diatas kening kepala namanya, dibawah alis mata namanya, yang mendengar telinga namanya, diatas mulut hidung namanya”.
Gambar 3.1 Shadow membimbing anak menunjukkan kepala
Gambar 3.2 Shadow membimbing anak menunjukkan mata
Gambar 3.3 Shadow membimbing anak menunjukkan telin
Gambar 3.4 Shadow membimbing anak menunjukkan hidung
Gambar 3.5 Shadow membimbing anak menunjukkan mulut
b. Kegiatan bernyanyi juga diselingi dengan kegiatan bermain, apabila anak merasa lelah, anak diajak atau dibiarkan untuk bermain terlebih dahulu, peneliti tidak menggunakan durasi waktu dalam satu kali intervensi. Misalnya : pada nyanyian pertama anak mau mengikuti atau melakukan sampai dua kali nyanyian. Sementara untuk intervensi hari kedua, anak mau melakukan atau mengikuti kegiatan bernyanyi sampai tiga kali dan seterusnya sampai intervensi telah selesai peneliti lakukan dan berikan serta data yang dikumpulkan telah stabil, kemudian dicatat pada format yang telah disediakan (lampiran VII hal 106) .
2. Alat pengumpul data
Pencatatan data melalui observasi langsung ini ada lima jenis yakni pencatatan kejadian, pencatatan durasi, pencatatan latensi, pencatatan interval dan pencatatan sampel. Jenis pencatatan yang dipilih yaitu pencatatan kejadian ( even recording ) yaitu dengan menghitung persentase jumlah soal yang mampu dikerjakan anak dengan benar pada kertas yang telah disediakan di bawah ini :
Format Pengumpulan Data
Nama Siswa : X
Peneliti : -
Target Behavior : -
No. Hari / Tanggal Waktu Menunjukkan anggota tubuh bagian atas Jumlah Jawaban Yang Benar
1.
F. Teknik Analisis Data
Single Subject Research merupakan penelitian dengan subjek tunggal yang prosedur penelitiannya menggunakan desain eksperimen untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap perubahan tingkah laku. Data di analisis dengan menggunakan teknik analisis visual grafik (Visual Analisis of Grafic Data), yaitu dengan cara memplotkan data – data ke dalam grafik. Kemudian data tersebut di analisis berdasarkan komponen – komponen pada setiap phase Baseline (A) dan Intervensi (B), dengan langkah – langkah sebagai berikut:
1. Analisis dalam Kondisi
Yang dimaksud analisis dalam kondisi adalah menganalisis perubahan data dalam satu kondisi misalnya : kondisi baseline atau intervensi, sedangkan komponen yang akan di analisis meliputi tingkat stabilitas kecendrungan arah pada tingkat perubahan.
Analisis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data grafik masing- masing kondisi dengan langkah – langkah sebagai berikut:
a. Menentukan Panjang Kondisi
Panjang kondisi dilihat dari banyaknya poin atau skor pada setiap kondisi, seberapa banyak data poin yang harus ada pada setiap kondisi tergantung pada masalah penelitian dan intervensi yang diberikan ( Juang Sunanto : 2005 ). Untuk panjang kondisi baseline secara umum biasa digunakan tiga atau lima poin.
Sedangkan pada phase panjang dan pendeknya kondisi intervensi sangat tergantung pada jenis intervensi yang diberikan, pada penelitian ini intervensi diberikan delapan kali.
b. Menentukan Estimasi Kecenderungan Arah
Ada tiga macam kecenderungan arah grafik ( trend/slope ) yaitu meningkat, mendatar, menurun ( Juang Sunanto : 2005 ). Kecenderungan arah grafik atau trend menunjukkan perubahan setiap data path ( jejak ) dari sesi ke sesi (waktu ke waktu), masing – masing tergantung pada tujuan dari intervensinya. Untuk menentukan kecenderungan arah grafik (Trend) dapat digunakan dua cara sebagai berikut :
1). Metode Freehand, yaitu mengamati data secara langsung terhadap poin pada suatu kondisi kemudian menarik garik lurus yang membagi data poin menjadi dua bagian.
2). Metode Split Middle, yaitu menentukan kecenderungan arah grafik berdasarkan median data poin nilai ordinatnya. Karena metode ini menggunakan ukuran data secara pasti (median) maka dipastikan lebih reliable dibandingkan dengan metode Freehand. Adapun langkah – langkah dalam penggunaan metode Split Middle (Juang Sunanto :2005 ) adalah sebagai berikut:
(a). Bagilah data phase Baseline menjadi dua bagian ( I )
(b). Dua bagian kanan dan kiri juga dibagi menjadi dua bagian ( 2a )
(c). Tentukan median dari masing – masing belahan ( 2b )
(d). Tariklah garis sejajar dengan absis yang menghubungkan titik temu antara ( 2a ) dan ( 2b ).
Jadi, metode menentukan arah kecenderungan dalam penelitian ini tergantung dari bentuk data yang diperoleh dari Baseline dan Intervensi. Jika data yang diperoleh stabil, maka metode yang digunakan untuk menentukan arah kecenderungannya adalah metode Freehand, tapi jika garis data yang diperoleh bervariasi maka digunakan metode Split Middle.
c. Menentukan Kecenderungan Kestabilan (trend stability )
Kecenderungan kestabilan dapat dihitung dengan langkah – langkah sebagai berikut :
1) Menentukan trend stability, yaitu menggunakan kriteria stabilitas 15% dengan perhitungan :
2) Menghitung mean level, yaitu menjumlahkan semua data yang ada pada ordinat dan dibagi dengan banyaknya data.
3) Menentukan batas atas, yaitu dengan cara Mean Level + setengah rentang stabilitas.
4) Menentukan batas bawah, yaitu dengan cara Mean Level – setengah rentang stabilitas.
5) Tentukan persentase stabilitas.
Jika persentase stabilitas terletak antara 85% - 90% maka kecenderungannya dikatakan stabil, sedangkan jika di bawah itu dikatakan tidak stabil
d. Menentukan Kecenderungan Jejak Data
Menentukan kecenderungan jejak data sama dengan arah kecenderungan, yaitu dimasukkan hasil yang sama seperti kecenderungan arah, apakah meningkat(+), menurun (-) atau mendatar (=) dengan sumbu x.
e. Menentukan Level Stabilitas dan Rentang
Tingkat stabilitas ( Level Stability ) menunjukkan derajat yang bervariasi atau besar kecilnya rentang pada kelompok data tertentu. Jika rentang datanya kecil atau tingkat variasinya rendah maka data dikatakan stabil . Secara umum 80% - 90% data masih berada pada 15% di atas dan di bawah mean, maka data dikatakan stabil. Mean level data untuk suatu
kondisi di hitung dengan cara menjumlahkan semua data yang ada pada ordinat dan dibagi dengan banyaknya data. Kemudian garis mean ini digambar secara paralel terhadap absis. Untuk menentukan tingkat stabilitas data biasanya digunakan persentase penyimpangan dari mean sebesar ( 5, 10, 12, 15 % ). Persentase penyimpangan terhadap mean yang digunakan untuk menghitung stabilitas digunakan yang kecil ( 10% ) jika data pengelompokkan pada bagian atas dan penggunaan persentase besar ( 15% ) jika data pengelompokkan dibagian tengah maupun pada bagian bawah.
Menentukan tingkat dan rentang stabilitas yaitu dengan cara menentukan rata – rata tingkat dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai seluruh titik data dan membagi jumlahnya dengan jumlah titik data. Kemudian dengan menggunakan Trend Stability Criterion Envelope di sekitar rata – rata (bagian atas dan bagian bawah). Range ditentukan dengan mengidentifikasi titik data pada ordinat dari ordinat yang paling rendah dan nilai ordinat yang paling tinggi dengan rumus :
f. Menentukan Level/ Tingkat Perubahan
Menentukan tingkat perubahan atau Level Change yang menunjukkan berapa besar terjadinya perubahan data dalam suatu kondisi, dapat dihitung dengan cara :
1) Menentukan berapa jumlah skor pada data poin (skor) pertama dan terakhir dalam suatu kondisi.
2) Kurangi data yang besar dengan data yang kecil.
3) Tentukan apakah selisihnya menunjukkan arah yang membaik atau memburuk sesuai dengan tujuan intervensi atau pengajaran
Sehingga level perubahan data dapat ditulis
Tabel 3.1. Level Perubahan Data
Kondisi A B
Level perubahan Data yang besar – Data yang kecil Data yang besar – Data yang kecil
Format rangkuman komponen analisis visual grafik (Visual Analisis of Grafik Data) dalam kondisi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2. Format Rangkuman Analisis Visual Grafik Dalam Kondisi
Kondisi
A B
1. Panjang kondisi
2. Estimate kecendrungan arah
3. Kecenderungan stabilitas
4. Jejak data
5. Level Stabilitas dan rentang
6. Level perubahan
2. Analisis antar Kondisi
Memulai menganalisa perubahan data antar kondisi, data yang stabil harus mendahului kondisi yang akan dianalisis. Karena jika data bervariasi (tidak stabil) maka akan mengalami kesulitan untuk menginterpretasi pengaruh intervensi terhadap variabel terikat. Disamping aspek stabilitas, ada tidaknya pengaruh intervensi terhadap variabel terikat juga tergantung pada aspek perubahan level, dan besar kecilnya Overlap yang terjadi antara dua kondisi yang dianalisis. Adapun komponen dalam analisis antar kondisi adalah :
a. Menentukan banyaknya variabel yang berubah, yaitu dengan cara menentukan jumlah variabel yang berubah diantara kondisi Baseline dan Intervensi.
Tabel 3.3. Variabel yang Berubah
Perbandingan Kondisi B : A
( 2 : 1 )
Jumlah variable yang akan di ubah
b. Menentukan perubahan kecenderungan arah, dengan mengambil data pada analisis dalam kondisi yang berubah diatas.
c. Menentukan perubahan kecenderungan stabilitas, dengan melihat kecenderungan stabilitas pada phase/ kondisi Baseline (A) dan Intervensi (B) pada rangkuman analisis dalam kondisi
d. Menentukan level/tingkat perubahan, dengan cara :
1) Tentukan data poin pada kondisi (A) pada sesi terakhir dan sesi pertama pada kondisi (B).
2) Hitung selisih antara keduanya.
3) Catat apakah perubahan tersebut membaik atau menurun. Jika tidak ada perubahan maka ditulis 0
e. Menentukan persentase Overlap data kondisi A dan B, dengan cara sebagai berikut
1) Lihat kembali data pada kondisi A dengan B yang berada pada rentang kondisi A.
2) Hitung data poin pada kondisi B yang berada pada rentang kondisi A.
3) Perolehan pada langkah nomor dua dibagi dengan banyaknya data poin dalam kondisi B kemudian dikalikan 100, itulah yang disebut persentase Overlap. Jika semakin kecil persentase Overlap maka semakin baik pengaruh intervensi terhadap target behaviour atau variabel terikat
Setelah diketahui masing – masing komponen tersebut, maka dimasukkan dalam tabel format rangkuman komponen analisis visual grafik antar kondisi, sebagai berikut :
Tabel 3.4. Format Rangkuman Komponen Analisis Visual Antar Kondisi
Kondisi B : A
1. Jumlah variabel yang berubah
2. Perubahan kecenderungan arah
3. Perubahan kecenderungan stabilitas
4. Level perubahan
5. Persentase Overlope

BAB IV
DESKRIPSI PELAKSANAAN, HASIL DAN
PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Deskripsi Pelaksanaan
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengenalkan dan menunjukkan anggota tubuh bagian atas yang meliputi :kepala, mata, hidung, mulut dan telinga Anak Autisme dengan terapi musik, penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode single subject reseacrh (SSR) desain A – B. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis visual data grafik (Visual Analisis of Grafic Data). Data dalam kondisi Baseline (A) yaitu data yang diperoleh sebelum diberikan perlakuan dan data pada kondisi Intervensi (B) yaitu data yang diperoleh setelah diberikan perlakuan terhadap subjek penelitian. Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Kondisi Baseline (A)
Pengenalan Anggota Tubuh Bagian Atas
Data diperoleh melalui tes perbuatan dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas dengan menggunakan media asli. Pengambilan data dilakukan setiap kali pengamatan, masing – masing selama 15 menit. Secara konsisten pengukuran yang dilakukan adalah dengan cara peneliti menugaskan anak menunjukkan anggota tubuh bagian atas melalui media asli atau anggota tubuh anak sendiri, kemudian anak menunjukkan anggota tubuh yang ditugaskan oleh peneliti. Hasil jawaban yang benar diberi poin seperti ketika anak mampu menunjukkan dengan benar 5 anggota tubuh bagian atas maka poinnya bernilai 10 atau anak berhasil 100% dan dikurangi nilainya 2 poin apabila anak tidak bisa menunjukkan dengan benar salah satu anggota tubuh bagian atas ( lampiran 8 hal 107 ).
Pengamatan dilakukan sebanyak tujuh kali dengan data yang diperoleh sebagai berikut :
1). Hari pertama pengamatan, anak belum mampu menunjukkan satupun anggota tubuh bagian atas.
2). Hari kedua pengamatan, anak belum mampu menunjukkan satupun anggota tubuh bagian atas.
3). Hari ketiga pengamatan, anak belum mampu menunjukkan satupun anggota tubuh bagian atas.
4). Hari keempat pengamatan, anak belum mampu menunjukkan satupun anggota tubuh bagian atas.
5). Hari kelima pengamatan, anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas yaitu kepala.
6). Hari keenam pengamatan, anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas yaitu kepala.
7). Hari ketujuh pengamatan, anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas yaitu kepala.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hari pertama sampai hari keempat pengamatan, anak belum mampu menunjukkan satupun anggota tubuh, pada pengamatan kelima sampai ketujuh anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas dan peneliti menghentikan pengetesan karena data yang diperoleh sudah stabil. Data di atas dapat diplotkan pada sebuah grafik garis sebagai berikut :
Tabel 4.1. Kemampuan Awal Subjek
Tes ke Hari / Tanggal Persentase
1
2
3
4
5
6
7 Senin / 21 Juli 2008
Selasa / 22 Juli 2008
Rabu / 23 Juli 2008
Kamis / 24 Juli 2008
Jum’at / 25 Juli 2008
Sabtu / 26 Juli 2008
Senin / 28 Juli 2008
0 %
0 %
0 %
0 %
20 %
20 %
20 %
Grafik 4.1. Panjang Kondisi Baseline ( A ) Kemampuan Anak Menunjukkan Anggota Tubuh Bagian Atas.
Dijelaskan bahwa lamanya pengamatan awal sebelum Intervensi diberikan adalah sebanyak tujuh kali pengamatan dan diketahui bahwa kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas sampai pada pengamatan keempat belum menunjukkan hasil akan tetapi pada pengamatan kelima sampai ketujuh anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas ( kepala dan mata ). Setelah data yang di peroleh stabil maka peneliti menghentikan pengamatan. Pengamatan dilanjutkan dengan memberikan perlakuan melalui Terapi Musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian.
2. Kondisi Intervensi (B)
Kondisi Intervensi merupakan kondisi pemberian perlakuan dengan Terapi Musik dalam bentuk kegiatan bernyanyi agar anak dapat mengenal anggota tubuhnya. Melalui terapi musik yang berbentuk kegiatan bernyanyi anak dapat mengenal dan menunjukkan anggota tubuhnya. Kegiatan bernyanyi diberikan pada anak dengan cara menyuruh atau meminta anak berdiri di depan cermin yang telah di sediakan dan didampingi oleh seorang shadow yang membimbing anak dalam menunjukkan anggota tubuhnya dan peneliti menyanyikan lagu tentang anggota tubuh sambil menunjuk anggota tubuh. Kegiatan ini dilakukan tidak menggunakan durasi waktu yang sama tergantung bagaimana kondisi anak pada saat itu, apabila anak merasa lelah anak dibiarkan untuk istirahat dan bermain. Pemberian intervensi berupa nyanyian yang bervariasi setiap harinya. Adapun data yang di peroleh selama diberikan intervensi pada kondisi B tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kemampuan dalam Menunjukkan Anggota Tubuh Bagian Atas
1). Hari kedelapan pengamatan, anak mampu menunjukkan tiga anggota tubuh bagian atas yaitu : mata, kepala, dan telinga.
2). Hari kesembilan pengamatan, anak mampu menunjukkan dua anggota tubuh bagian atas yaitu : mulut dan mata.
3). Hari kesepuluh pengamatan, anak mampu menunjukkan dua anggota tubuh bagian atas yaitu : mulut dan hidung.
4) Hari kesebelas pengamatan, anak mampu menunjukkan empat anggota tubuh bagian atas yaitu : mulut, hidung, kepala, dan telinga.
5). Hari keduabelas pengamatan, anak mampu menunjukkan tiga anggota tubuh bagian atas yaitu : mulut , hidung, dan kepala.
6). Hari ketigabelas sampai hari kelimabelas pengamatan, anak mampu menunjukkan lima anggota tubuh bagian atas yaitu : mulut, hidung, mata, kepala, dan telinga.
Berdasarkan data yang diperoleh pada hari ketigabelas sampai hari kelimabelas pengamatan, maka peneliti menghentikan perlakuan karena kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh sudah menunjukkan hasil yang stabil. Data dapat dilihat pada grafik kondisi B di bawah ini :
Tabel 4.2. Perkembangan Kemampuan Subjek
Tes ke- Hari / Tanggal Persentase
8
9
10
11
12
13
14
15 Rabu / 29 Juli 2008
Kamis / 30 Juli 2008
Jum’at / 31 Juli 2008
Sabtu / 1 Agustus 2008
Senin / 3 Agustus 2008
Selasa / 4 Agustus 2008
Rabu / 5 Agustus 2008
Kamis / 6 Agustus 2008 60 %
40 %
40 %
80 %
60 %
100 %
100 %
100 %
Grafik 4.2. Panjang Kondisi Intervensi ( B ) Kemampuan Anak Menunjukkan Anggota Tubuh
Ditafsirkan bahwa setelah anak diberi perlakuan dengan menggunakan Terapi Musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian, maka kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas berangsur –angsur meningkat dan akhirnya mampu menunjukkan seluruh anggota tubuh bagian atas meliputi : kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut.
Perbandingan hasil data Baseline dan Intervensi kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas, dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Grafik 4.3. Panjang Kondisi Baseline ( A ) dan Intervensi ( B ) Kemampuan Anak Menunjukkan Anggota Tubuh
Sebelum diberikan Intervensi data diambil sebanyak tujuh kali pengamatan, diketahui bahwa kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas sampai pengamatan keempat masih nol, pada pengamatan kelima sampai pengamatan ketujuh anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas, dan data yang diperoleh telah stabil. Maka dilanjutkan dengan memberikan Intervensi dengan Terapi musik. Sehingga diperoleh data bahwa kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas berangsur – angsur meningkat dan akhirnya mampu menunjukkan seluruh anggota tubuh bagian atas meliputi : kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut dengan benar mulai dari hari ketigabelas sampai hari kelimabelas pengamatan.
Langkah selanjutnya adalah menganalisis data grafik dengan cara memplotkan data – data ke dalam grafik, kemudian data tersebut dianalisis berdasarkan komponen – komponen pada setiap kondisi Baseline ( A ) dan kondisi Intervensi ( B ), dengan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Analisis dalam Kondisi
Kondisi yang akan dianalisis yaitu kondisi Baseline ( A ) dan kondisi Intervensi ( B ). Komponen Analisis dalam Kondisi ini adalah :
a. Menentukan Panjang Kondisi
Panjang kondisi adalah lamanya pengamatan yang dilakukan pada masing – masing kondisi ( kondisi A dan kondisi B). Pada kondisi A pengamatan dilakukan selama tujuh kali pengamatan. Pada kondisi B pengamatan dilakukan sebanyak delapan kali pengamatan. Dengan kata lain, panjang kondisi merupakan jumlah titik data yang terdapat pada masing – masing kondisi. Pada kondisi A jumlah titik datanya tujuh buah, sedangkan pada kondisi B jumlah titik datanya delapan buah.
b. Menentukan Estimasi Kecendrungan Arah
Pada kondisi Baseline ( A ), garis arah kecendrungan menunjukkan perubahan yang tidak terlalu meningkat dan cenderung stabil ( mendatar ), sehingga penentuan arah kecendrungannya dilakukan dengan Freehand dan pada kondisi Intervensi ( B ) terdapat kenaikan yang bervariasi, untuk menentukan arah kecendrungannya dipakai metode Split Middle.
Kondisi Baseline ( A )
Pada kondisi Baseline ( A ) digunakan metode Freehand karena data yang diperoleh cenderung stabil. Pada pengamatan pertama sampai pengamatan keempat anak belum mampu menunjukkan satupun anggota tubuh bagian atas dengan benar. Pada pengamatan kelima sampai pengamatan ketujuh anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas dengan benar. Cara yang dipakai dalam menentukan panjang kondisi baseline ( A ) dengan metode Freehand yaitu dengan menarik garis lurus sejajar atau searah dengan kestabilan data yang diperoleh.
Kondisi Intervensi ( B )
Pada kondisi Intervensi ( B ) digunakan metode Split Middle karena data yang diperoleh bervariasi. Pada pengamatan kedelapan anak mampu menunjukkan tiga anggota tubuh (mata, kepala, dan telinga), pengamatan kesembilan anak mampu menunjukkan dua anggota tubuh (mata dan mulut), pengamatan kesepuluh anak mampu menunjukkan dua anggota tubuh (mulut dan hidung), pengamatan kesebelas anak mampu menunjukkan empat anggota tubuh (mulut, hidung, kepala, dan telinga), pengamatan keduabelas anak mampu menunjukkan tiga anggota tubuh (mulut, hidung, dan kepala), pengamatan ke tigabelas sampai pengamatan kelimabelas anak mampu menunjukkan lima angota tubuh bagian atas dengan benar (kepala, mata, telinga, hidung, dan mulut). Kondisi B terlihat bahwa terapi musik efektif dalam pengenalan anggota tubuh terhadap anak ( data bervariasi )
1). Membagi jumlah titik data menjadi dua bagian yang sama yaitu kiri dan kanan, misalnya dilambangkan dengan ( 1 ).
2). Membagi jumlah titik data yang telah dibagi diatas menjadi dua bagian yang sama ( Mid Date ), misal dilambangkan dengan
( 2a ).
3). Tentukan posisi median dari masing – masing belahan ( 2b ).
4). Menarik garis lurus yang terputus – putus dari dua titik temu antara ( 2a ) dengan ( 2b ).
Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :
Grafik 4.4 Estimasi Kecendrungan Arah Kemampuan Anak Menunjukkan Anggota Tubuh
Setelah mengikuti langkah – langkah di atas, maka berdasarkan grafik 4 terlihat arah kecendrungan data pada kondisi A dan B. Pada kondisi arah kecendrungan hanya satu kali mengalami kenaikan yaitu pada pengamatan kelima sampai pengamatan ketujuh pada phase Baseline pada grafik dibaca garis sejajar ( = ) sedangkan pada kondisi Intervensi ( B ), arah kecendrungan data meningkat dan bervariasi, artinya positif ( + )
Tabel 4.3. Estimasi Kecendrungan Arah
Kondisi A B
Estimasi kecenderungan arah (=)
(+)
Tabel diatas menunjukkan arah kecendrungan pada kondisi Baseline ( A ) dan Intervensi ( B ). Berdasarkan data di atas dapat ditafsirkan bahwa dalam kondisi Baseline ( A ) arah kecendrungannya tidak mengalami perubahan. Pada kondisi Intervensi ( B ) terlihat bahwa kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh mengalami kenaikan atau cenderung meningkat.
c. Menentukan Kecenderungan Stabilitas ( Trend Stability )
Menentukan Kecenderungan Stabilitas pada kondisi A dan B digunakan suatu kriteria stabilitas yang telah ditetapkan. Untuk menentukan kecenderungan stabilitas digunakan kriteria stabilitas 15%. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung Mean Level, batas atas, batas bawah dan persentase stabilitas. Jika persentase stabilitas terletak antara 85% - 90% maka kecenderungannya dikatakan stabil, sedangkan jika dibawah itu dikatakan tidak stabil atau variabel. Adapun perhitungannya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Kemampuan Anak Menunjukkan Anggota Tubuh Bagian Atas.
1). Kondisi Baseline ( A )
a) Menentukan Trend Stability dengan cara mengalikan skor tertinggi dengan kriteria stabilitas.
Diketahui : skor tertinggi = 1
Kriteria stabilitas = 0,15
Ditanya : stabilitas kecendrungan = .....?
Jawab : stabilitas kecendrungan = skor tertinggi x Kriteria
Stabilitas
= 1 x 0,15
= 0,15
b). Menghitung Mean Level dengan cara menjumlahkan semua skor dan dibagi dengan banyak data poin pada kondisi A.
Diketahui : skor = 0 + 0+ 0+ 0 +1 +1+1= 3 Banyak data poin = 7
Ditanya : mean level = jumlah skor : banyak poin
Jawab : mean level = ( 0 + 0 + 0 + 0 + 1 + 1 + 1) : 7
= 3 : 7
= 0,428
c). Menentukan batas atas dengan cara menjumlahkan Mean Level dengan setengah stabilitas kecendrungan.
Diketahui : mean level = 0,428
Stabilitas kecendrungan = 0,15
Ditanya : batas atas =....?
Jawab : batas atas = mean level + ( setengah x stabilitas
Kecendrungan)
= 0,428+ ( setengah x 0,15 )
= 0,503
d). Menentukan batas bawah dengan cara mengurangkan Mean Level dengan setengah stabilitas kecendrungan.
Diketahui : mean level = 0,428
Stabilitas kecendrungan = 0,15
Ditanya : batas bawah = ...?
Jawab : batas bawah = mean level – ( setengah x stabilitas
Kecendrungan )
= 0,428 – ( setengah x 0,15 )
= 0,353
Banyak data poin yang ada dalam rentang antara batas atas 0,503 dan batas bawah 0,353 adalah : 0
Maka persentase stabilitasnya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4. Persentase Stabilitas
Banyaknya data poin yang ada dalam rentang
: Banyaknya data poin
= Persentase stabilitas
0 7 0
0 %
( tidak stabil )

2). Kondisi Intervensi ( B )
a). Menentukan Trend Stability dengan cara mengalikan skor tertinggi dengan kriteria stabilitas.
Diketahui : skor tertinggi = 5
kriteria stabilitas = 0,15
Ditanya : stabilitas kecendrungan = ...?
Jawab : stabilitas kecendrungan = skor tertinggi x kriteria
Stabilitas
= 5 x 0,15
= 0,75
b). Menghitung Mean Level dengan cara menjumlahkan semua skor dan dibagi dengan banyak data poin pada kondisi B.
Diketahui : skor = 60 + 40 + 40 + 80 + 60 + 100+ 100+100 =
580
banyak data poin = 8
Ditanya : mean level= ...?
Jawab : mean level = ( 60 + 40 + 40 + 80 + 60+100+100 +100
= 580 : 8
= 72,5
c). Menentukan batas atas dengan cara menjumlahkan Mean Level dengan setengah stabilitas kecendrungan.
Diketahui : mean level = 72,5
Kecendrungan stabilitas = 0,75
Ditanya : ...?
Jawab : batas atas = mean level + ( setengah x
kecendrungan stabilitas )
= 72,5 + ( setengah x 0,75 )
= 72,875
d). Menentukan batas bawah dengan cara mengurangkan Mean Level dengan setengah stabilitas kecendrungan.
Diketahui : mean level = 72,5
kecendrungan stabilitas = 0,75
Ditanya : ...?
Jawab : batas bawah = mean level – ( setengah x
kecendrungan stabilitas )
= 72,5 – ( setengah x 0,75 )
= 72,125
Banyaknya data poin yang terdapat dalam rentang antara batas atas 72,875 dengan batas bawah 72,125 adalah : 0
Tabel 4.5. Persentase Data Intervensi
Banyaknya data poin yang ada dalam rentang
: Banyaknya data poin
= Persentase Stabilitas
0 : 8 = 0
0 %
( variabel tidak stabil)
Dapat dijelaskan bahwa persentase stabilitas pada kondisi sebelum diberikan intervensi dan kondisi setelah diberikan intervensi tidak stabil, karena persentase stabilitas kondisi A adalah 0% dan kondisi B adalah 0%. Pada phase Intervensi data tidak stabil artinya kemampuan anak malah meningkat yaitu dengan Terapi Musik. Sedangkan pada phase baseline kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh sebelum diberikan perlakuan adalah tidak stabil karena datanya mendatar.
Maka persentase stabilitas untuk kondisi Baseline dan Intervensi yaitu :
Tabel 4.6 Persentase Stabilitas Data
Kondisi A
1 B
2
Kecendrungan Stabilitas Tidak Stabil
( 0% ) Variabel tidak stabil
( 0% )
Pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa pada kondisi sebelum perlakuan diberikan kemampuan anak rendah dan cenderung tetap dan pada soal yang telah diberikan Terapi Musik maka kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh berubah dan cenderung meningkat.
Terlihat bahwa data pada Baseline dan pada Intervensi meningkat. Stabilitas kecenderungan dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Grafik 4.5. Stabilitas Kecenderungan Kemampuan Anak Menunjukkan Anggota Tubuh
d. Menentukan Kecenderungan Jejak Data
Pada gambar data grafik dapat dlihat bahwa terdapat dua garis data yang tidak sama antar masing – masing kondisi ( A ) dan Intervensi ( B ). Baseline dan Intervensi yaitu garis data naik ( + ) dan zero selection ( tidak berubah ) ( = ).
Berdasarkan data di atas dapat ditafsirkan bahwa dalam kondisi ( A ), anak mampu menunjukkan satu anggota tubuh bagian atas dengan benar pada pengamatan kelima sampai pengamatan ketujuh dan peneliti menghentikan pengamatan sampai hari ketujuh. Pada data Intervensi ( B ) kemampuan anak menunjukkan anggota tubuh bagian atas, pengamatan kedelapan meningkat, pengamatan kesembilan dan kesepuluh menurun dan cenderung mendatar, pengamatan kesebelas meningkat dan pengamatan keduabelas cenderung menurun, dari pengamatan ketigabelas sampai pengamatan kelimabelas meningkat dan cenderung mendatar.
Tabel 4.7. Kecenderungan Jejak Data
Kondisi A
1 B
2
Kecendrungan Jejak
( = )
( + ) ( = )
e. Menentukan Level Stabilitas dan Rentang
Berdasarkan data kemampuan anak menunjukkan anggota tubuh dapat terlihat bahwa kondisi Baseline ( A ) datanya tidak stabil yaitu satu dan mendatar. Pada kondisi Intervensi ( B ) datanya bervariasi dengan rentang dua sampai lima. Pada kondisi B angka dua adalah nilai terendah dan lima nilai tertinggi .
Dimaknai bahwa kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh pada kondisi A dikatakan tidak stabil karena tetap dan pada kondisi B tidak stabil. Artinya jumlah anggota tubuh yang ditunjuk anak dengan benar cenderung meningkat.
Tabel 4.8. Level Stabilitas dan Rentang
Kondisi A
1 B
2
Level Stablitas Rentang Tidak stabil
0 - 1 Variabel
2 - 5

f. Menentukan Tingkat Perubahan
Menentukan tingkat perubahan ( Level Change) yang menunjukkan berapa besar terjadinya perubahan data dalam suatu kondisi. Adapun cara menghitungnya adalah cara menentukan berapa besar data poin ( skor ) pertama dan terakhir dalam suatu kondisi. Kemudian data poin yang besar dikurangi dengan yang kecil. Jadi, tingkat perubahan kemampuan anak menunjukkan anggota tubuh pada kondisi A adalah1dan kondisi B adalah
5 – 2 = 3.
Dengan demikian level perubahan dapat ditulis seperti berikut :

Tabel 4.9. Level Perubahan
Kondisi A
1 B
2
Level Stabilitas Rentang 0 – 1 = 1
( + ) 5 – 2 = 3
( + )
Setelah diketahui masing – masing komponen di atas, maka dapat dimasukkan dalam tabel format analisis dalam kondisi yang berdekatan seperti tabel 14 berikut ini :
Tabel 4.10 Rangkuman Hasil Analisis Dalam Kondisi Kemampuan Anak Menunjukkan Anggota Tubuh
Kondisi A B
1. Panjang Kondisi 7 8
2.Estimasi Kecenderungan arah
(=)
(+)
3. Kecenderungan Stabilitas
0 %
(tidak stabil) 0%
( variasi )
4. Jejak Data
(=)
(+) (=)
5. Level Stabilitas dan Rentang Stabil
0 -1 Variabel
2 - 5
6.Level Perubahan
1 – 0
( 1 ) 5-2
( 3 )
2. Analisis antar Kondisi
Menganalisa perubahan data antar kondisi, data yang stabil harus mendahului kondisi yang akan dianalisa. Karena jika digunakan data bervariasi ( tidak stabil ), maka akan sulit untuk diinterpretasi. Disamping aspek stabilitas ada tidaknya pengaruh intervensi terhadap variabel terikat juga tergantung pada aspek perubahan level dan aspek besar kecilnya overlap yang terjadi antara dua kondisi yang dianalisis.
Adapun komponen analisis antara kondisi Baseline ( A ) dan Intervensi ( B ) dalam rangka pengenalan anggota tubuh bagian atas pada Anak Autisme dengan Terapi Musik adalah :
a. Menentukan Banyaknya Variabel yang Berubah
Banyaknya variabel yang berubah dalam penelitian ini yaitu kemampuan anak dalam mengenal anggota tubuh, dengan sub variabelnya menunjukkan anggota tubuh bagian atas.
Tabel 4.11. Jumlah Variabel Yang Berubah
Perbandingan Kondisi B1 / A1 (2 : 1)
1 Jumlah variabel yangberubah 1
b. Menentukan Perubahan Kecenderungan Arah
Perubahan kecenderungan arah ditentukan dengan mengambil data pada analisis dalam kondisi yang berubah, formatnya ialah sebagai berikut:
Tabel 4.12 Perubahan Kecenderungan Arah
Kondisi B / A
Perubahan dalam arah kecenderu gan dan efeknya Positif (-) (=) (+)
Kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas pada. Kondisi A perubahan kecenderungan arahnya sama/ tetap dan tidak perubahan ( mendatar ). Pada kondisi B perubahan kecenderungan arahnya menaik ( + ) lebih tinggi dari pada kondisi A, yaitu dari dua anggota tubuh menjadi lima anggota tubuh yang ditunjuk anak dengan benar.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa pemberian intervensi berpengaruh positif terhadap variabel yang dirubah.
c. Menentukan Perubahan Kecenderungan Stabilitas
Lihat kecenderungan stabilitas pada kondisi Baseline ( A ) dan Intervensi ( B ) pada rangkuman analisis dalam kondisi. Dapat dijelaskan bahwa pada kondisi A kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas masih rendah. Dapat dijelaskan bahwa pada kondisi B kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas melihatkan adanya perubahan kecenderungan dari variasi ke variasi secara positif, artinya jumlah anggota tubuh bagian atas yang ditunjuk oleh anak dengan benar bertambah meningkat.
d. Menentukan Tingkat Perubahan
Tingkat perubahan ditentukan dengan cara melihat data poin terakhir pada kondisi A dan poin terendah pada kondisi B. Kemudian data poin data terbesar dikurangi dengan data poin terendah. Kemampuan anak menunjukkan anggota tubuh bagian atas pada kondisi A yaitu satu dan pada kondisi B dua. Dua dikurang satu sehingga hasilnya satu. Maka kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas bertambah. Dan dimasukkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.13 Perubahan Kecenderungan Stabilitas
Perbandingan Kondisi A / B ( 2: 1)
Perubahan Kecenderungan Stabilitas Tidak stabil ke variabel

e. Menentukan Overlap Data
Overlap data pada kondisi Baseline dan Intervensi ditentukan dengan cara sebagai berikut :
1). Lihat batas atas dan batas bawah pada kondisi Baseline yaitu batas bawah 0,353 dan batas atasnya 0,503 adalah dengan Intervensi (B) yang berada pada rentang kondisi ( A ).
2). Kemudian tentukan jumlah data poin kondisi Intervensi yang berada pada rentang kondisi Baseline.
3). Perolehan angka pada poin dua dibagi dengan banyaknya data poin yang ada pada kondisi Intervensi.
Pada kondisi Baseline kemampuan anak menunjukkan anggota tubuh, batas atasnya 0,503 dan batas bawah 0,353. Jumlah data poin kondisi Intervensi yang berada pada rentang kondisi Baseline, yaitu nol ( 0 ). Nol ( 0 ) dibagi dengan banyaknya data poin yang ada pada kondisi Intervensi yaitu 8. Jadi 0 : 8 = 0. Hasil tersebut dikalikan seratus, maka hasilnya 0%.
Semakin kecil persentase overlap maka semakin baik pengaruh Intervensi terhadap target behaviour. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemampuan anak dalam menunjukkan anggota tubuh bagian atas mengalami perubahan yang meningkat. Karena dari data di atas tidak terdapat data pada kondisi B yang overlap ( tumpang tindih ). Semua komponen diatas, dapat dilihat pada tabel 4.14 di bawah ini :
Tabel 4.14 Rangkuman Hasil Analisis Antar Kondisi Kemampuan Anak dalam Menunjukkan Anggota Tubuh.
Kondisi B : A
( 2 : 1 )
1. Jumlah variabel yang berubah 1
2. Perubahan kecenderungan arah
(-) (=) (+)
Positif
3. Perubahan kecenderungan stabilitas Tidak stabil ke Variabel
4. Level perubahan
2 – 1= 1
5. Persentase overlap 0%
B. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dalam kondisi dan hasil penelitian antar kondisi yang terdapat 15 kondisi yakni 7 sesi baseline dan 8 sesi intervensi, diberikan dengan menggunakan terapi musik yang di kemas dalam bentuk nyanyian dapat dilihat peningkatan kemampuan anak menunjukkan anggota tubuh bagian atas, dilihat dari 3 perlakuan terakhir di dapatkan bahwa anak mampu menunjukkan semua anggota tubuh bagian atas dengan benar.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan melalui terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian efektif terhadap anak autisme dalam pengenalan anggota tubuh bagian atas di SLB Perwari Padang.
C. Pembahasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah dan di rumah subjek, kegiatan penelitian dilakukan dalam dua sesi yaitu sesi baseline dan sesi intervensi. Pada sesi baseline penelitian dilakukan dalam tujuh kali pertemuan, karena pada pertemuan ke lima, enam, dan tujuh telah didapat data yang stabil sehingga peneliti menghentikan penelitian. Pada sesi intervensi penelitian dilakukan dalam delapan kali pertemuan dan pada pertemuan tiga belas, empat belas, dan lima belas data yang diperoleh oleh peneliti telah stabil. Kegiatan yang dilakukan selama penelitian baik sesi baseline dan sesi intervensi di kumpulkan dalam bentuk format yang bertujuan untuk memperjelas dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh peneliti selama penelitian.
Intervensi yang diberikan pada anak autisme x yaitu terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian, karena terapi musik tidak hanya meliputi kegiatan memainkan alat musik saja, akan tetapi kegiatan bernyanyi atau proses pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan nyanyian juga merupakan terapi musik. Dengan dikemasnya terapi musik dalam bentuk nyanyian maka akan lebih memudahkan ketika melakukan kegiatan pembelajaran kepada anak autisme. Bentuk nyanyian yang digunakan dalam proses pengenalan anggota tubuh pada anak autisme x yaitu : ”dua mata saya untuk melihat”, ”dua mata saya”, ”diatas kening kepala namanya”.
Hal ini juga didukung oleh pendapat Djohan (2005), terapi musik merupakan sebuah pekerjaan yang menggunakan aktivitas gerakan, bernyanyi, mendiskusikan lirik lagu untuk membantu anak mencapai sasaran sesuai program yang telah direncanakan, terutama pada penyandang kelainan dan autisme dapat digunakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan anak autisme.
Terapi musik dalam pendidikan merupakan suatu usaha mendidik melalui pelajaran musik untuk menumbuhkan cipta karsa dan rasa estetik anak didik dalam rangka mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikomotorik dan pisiomotorik secara optimum dan salah satu ruang lingkupnya yaitu menyanyi (lagu kanak – kanak, remaja, daerah, nasional dan lain sebagainya) (Astati : 1995). Terapi musik merupakan aktifitas dari nada, vibrasi dan nyanyian yang dapat merangsang anak untuk mau menggerakkan anggota tubuhnya dan mengekspresikan dan menyalurkan perasaannya secara lebih bebas (Yosfan Azwandi :2005).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka diperoleh hasil bahwa terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian efektif terhadap anak autisme x dalam pengenalan anggota tubuh bagian atas di SLB Perwari Padang.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terapi musik merupakan suatu sarana, media atau alat bantu yang menumbuhkan kemauan dan dorongan daya kreasi yang dapat diarahkan untuk keperluan pembelajaran, berupa kegiatan memainkan musik, bernyanyi, dan mendiskusikan lirik lagu yang digunakan dalam pembelajaran bukan hanya untuk penyembuhan, akan tetapi juga untuk mengungkapkan ekspresi, mengembangkan potensi, meningkatkan daya ingat dan pengenalan akan pengetahuan kepada anak. Terapi musik dapat dijadikan suatu alternatif yang diberikan kepada anak untuk mengenalkan anggota tubuhnya bagian atas dalam bentuk terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian.
Dari deskripsi pelaksanaan, hasil dan pembahasan penelitian, maka peneliti mengambil kesimpulan, setelah diberikan intervensi pada anak autisme x yang belum mengenal atau belum mampu menunjukkan anggota tubuh bagian atas dengan benar, dapat meningkat dan dapat dikatakan anak telah mampu atau berhasil menunjukkan semua anggota tubuh bagian atas dengan benar. Di awal penelitian atau pada kondisi baseline anak belum mampu menunjukkan semua anggota tubuh bagian atas dengan benar, namun setelah diberikan intervensi dalam bentuk terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian, anak mampu atau berhasil menunjukkan semua anggota tubuh bagian atas dengan benar.
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terapi musik yang dikemas dalam bentuk nyanyian efektif dalam pengenalan anggota tubuh pada anak autisme x kelas persiapan II di SLB Perwari Padang.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran sebagai berikut :
1. Bagi guru, peneliti menyarankan agar lebih mengoptimalkan pelaksanaan terapi musik dalam bentuk kegiatan bernyanyi setiap pemberian materi pelajaran, sehingga proses dan tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.
2. Bagi peneliti selanjutnya, peneliti menyarankan agar dapat melaksanakan terapi musik dalam upaya meningkatkan kemampuan anak yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Andiek Soemarno. (2005). Pedoman Khusus Terapi Musik. Jakarta : CV Makmur.

Astati. (1995). Terapi Okupasi, Terapi Bermain dan Terapi Musik Bagi Anak Tunagrahita.

Bagus Marsudi. (2008). Pengertian Terapi Musik. http : // www. kontan – online. com. 28 Juli 2008.

Bandi Delphie. (2006). Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : Refika Aditama.

Bonny Atmajadanu. (2003). Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta : Puspa Swara.

Budiono. (2005). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Karya Agung.

Djadja Rahardja. (2006). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. University of Tsukuba.

Djohan. (2005). Psikologi Musik. Yogyakarta : Buku Baik

. (2005). Terapi Musik, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Galang Press.

Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin (2005). Program Pembelajaran Individual Bagi Anak Tunagrahita. Jakarta : Depdiknas.

Evelyn C Pearce. (2005). Anatomi dan Fisilogi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Handojo. (2003). Autisma. Jakarta : Buana Ilmu Populer.

Juang Sunanto. (2005). Pengantar Peneletian dengan Subjek Tunggal. University of Tsukuba.

Rudy Sutadi. dkk. (2003). Penatalaksanaan holistic Autisma. Jakarta : FKUI.

Suharsimi Arikunto. (2003). Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineke Cipta.

Sujarwanto. (2005). Terapi Okupasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Depdiknas.

Yosfan Azwandi. (2005). Mengenal dan Membantu Penyandang Autisme.Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.