a. Pendiam/menyendiri
Pendiam atau menyendiri menyangkut prilaku menjauhi orang lain, baik secara fisik mengadakan kontak sosial dengan orang lain. Anak pendiam atau menyendiri mungkin tidak memiliki keterampilan memberi respon pendekatan, misalnya cara memandang, berbicara, bermain, atau memengang teman atau orang dewasa. Mereka juga kurang rsponsif terhadap ajakan orang lainuntuk mengadakan kontak sosial.
Beberapa anak pendiam juga menunjukkan prilaku berlebihan yang menyimpang dari perkembangan sosial yang normal. Prilaku yang dimaksud misalnya berfantasi, terlalu asik dengan imaginasinya, prilaku stimulasi diri secara berlebihan. Stimulasi diri adalah berbagai bentuk perilaku yang berulang-ulang dank has bagi seorang anak, tetapi terjadi tanpa tujuan dan tak disengaja, untuk memberi stimulasi pada syarafnya sendiri, misalnya mengangguk-angguk, berkedip-kedip, menggerak-gerakan tangan dan sebagainya.
Kauffman (1985) mengelompokkan prilaku menyendiri menjadi tiga berdasarkan tingkatnya, yaitu sebagai berikut :
1. Isolasi Sosial
a. Pengertian
Isolasi sosial sering didefinisikan sebagai penolakan oleh teman-teman sebayanya (Kauffman 1985). Anak-anak semacam ini dapat ditemukan hamper semua kelas, dari tingkat taman kanak-kanak sampai kelasnya orang dewasa ditandai dengan kurangnya interaksi sosial. Karena tidak adanya interaksi sosial dengan lingkungannya, berbagai julukjan diberikan pada anak ini, misalnya hiasan dinding, patung dsb.
b. Penyebab Isolasi Sosial
Teori belajar sosial menduga bahwa setiap pendiam dan menyendiri disebabkan oleh kurangnya keterampilan berinteraksi sosial. Ketidakmampuan berinteraksi sosial ini mungkin terjadi karena anak memang belum dilatih, atau anak pernah mendapat hukuman (imbalan negative) pada waktu berusaha mengadakan interaksi sosial. Misalnya, seorang anak yang mencoba menanyakan sesuatu kepada ayahnya, pada hal ayahnya sedang marah kepada orang lain, anak ikut dubentak-bentak.
Tetapi data penelitian tidak mendukung kesimpulan bahwa pendiam atau menyendiri disebabkan oleh rasa cemas dan rasa rendah diri. Yang lebih logis adalah kekurangan keterampilan sosial pada anak telah mengakibatkan rasa cemas dan rendah diri. Sedang pengakangan yang berlebihan oleh orang tua, kekurangan keterampilan sosial, kurangnya kesempatan bergaul, dengan orang lain, atau pengalaman jelek dalam interaksi sosial dengan orang lain pada nasa kecil yang menyebabkan anak cendrung menyendiri dan menghindari kontak dengan orang lain. Orang tua yang canggung dalam pergaulan sosialnya akan mempunyai anak-anak yang keterampilan sosialnya tidak baik. Pengalaman menyakitkan dalam pergaulan sosial akan menyebabkan anaknya mersa cemas, kurang percaya diri, dan berfikir negative tentang dirinya, yang menyebabkan anak jadi pendiam dalam pergaulan sosialnya dan ini akan memburuk keterampilan sosialnya.
c. Penanganan Anak Terisolasi Sosial
Salah satu pendekatan untuk menangani anak-anak yang terisolasi sosial adalah melalui perbaikan konsep diri (self concept) anak dengan jalan mendorong anak untuk mengekspresikan semua perasaan danb persesinya tentang prilaku dan hubungan sosialnya. Hal ini dapat dilakukan dalam kegiatan terapi permainan atau dalam dialog tetapi yang melibatkan orang dewasa yang menerima sacara terbuka dan arat. Pendekatan ini dapat dilakukan berdasarkan pada asumsi bahwa dengan konsep diri baik,anak akan semakin berani terlibat dalm interaksi sosial. Begitu anak merasa diterima dan dapat mengekspresikan semua perasaannya secara terbuka, konsep dirimya akan menjadi lebih positif sehingga interaksi sosial secara positif juga akan bertambah baik.
Pendekatan lainnya, bersumber dari psikologi behavioristik, adalah dengan mengajarkan cara saling berinterakasi sosial secara positif dengan teman sebayanya. Dengan kata lain, pendekatan ini menekankan pada interaksi sosial anak, misalnya dengan menyediakan mainan atau perlengkapan yang memungkinkan anak bermain secara sosial, sehingga anak yang terisolasi dapat berdekatan dengan anak lain yang sudah memiliki ketrampilan sosial yang baik.
Kauffman (1985) mengemukakan 3 macam strategi intervensi behavioristik,yaitu:
i. Menyediakan penguat bagi interkasi sosial (dapat berupa pujian angka,atau token).
ii. Menyediakan teman sebaya sebagai model interaksi sosial sambil mengajarkan ketrampilan sosial tertentu.
iii. Menyuruh teman sebaya mengajak mengadakan dan memulai interaksi sosial.
2. Pendiam Autistic
a. Pengertian dan Penyebabnya
Salah satu karakteristik utama dari autistic kanak-kanak adalah tidak adanya hubungan sama sekali antara anak dan orang lain. Anak seakan-akan tidak menyadari apa yang ada dan terjadi disekitarnya.
Kuffman (1985) mendefenisikan pendiam autistic sebagai prilaku isolasi sosial secara ekstirm, tidak peduli apapun hasil diagnosa dan label kecacatan yang diberikan kepada anak. Kauffman juga mengemukan empat macam karakteristik yang berkaitan dangan penyendiri autistic, yaitu :
1. tidak responsive terhadap stimulasi sosial
2. kecengganan memandang
3. gangguan bahasa (ternasuk bisu)
4. stimulasi diri dan fantasi
b. Tidak tanggap terhadap stimulasi sosial
Tidak adanya kontak sosial dan ketidakmampuan menyesuaikan postur dan posisi tubuhnya pada orang dewasa yang mengganggu memberi kesan bahwa anak ini tidak berminat atau bahkan menolak hubungan kemanusiaan. Setelah anak tambah besar, mereka tidak merespon terhadap stimulus bahasa sehingga menimbulkan masalah pengendalian bagi kedua orang tuanya.
c. Keengganan Memandang (gaze averson).
Anak autistic sering tidak mampu menciptakan control pandangan atau cendrung menghindari pandangan lawan bicaranya. Mereka sering digambarkan “memandang tembus orang lain” atau memandang keluar dari orang lain karena sebenarnya mereka tidak memfokuskan pandangan pada muka orang lain.
Anak autistic jarang memandang muka orang lain, mereka lebih banyak mengandalkan melihat sepintas atau mencuri pandang orang lain. Lavass (Kauffman 1985) tidak percaya bahwa gaze aversion disebabkan oleh gangguan sistim syaraf. Tekanan memandang yang dianjurkan adalah membuat mereka mau memandang pada waktu pelatihan berbahasa karena tanpa melihat raut muka , sulit sulit bagi anak menirukan proses bahasa dan wicara.
d. Membisu, Bergema, dan Gangguan Bahasa Lain.
Sebagian besar anak autistic mempunyai gangguan berbahasa yang cukup parah. Sebagian besar dari mereka ternyata bisu, kira-kira 50% tidak menguasai bahasa lisan secara bermakna,ada yang menderita echolalic, yaitu menirukan apa yang didengar atau menggunakan kata ganti secara terbalik (saya dengan kamu), sebagian lagi hanya dapat mengeluarkan serangkaian bunyi yang tidak bermakna dan apa lagi yang termasuk electric mutisn, yaitu hanya mau berbicara kepada orang-orang tertentu atau dalam stuasi tertentu.
e. Stimulasi diri dan fantasi
Berdasarkan pengamatan pada salah satu anak yang menjadi subyek penelitiannya, Koegel, Firestonce, Kramme, dan Dunlap (Kauffman 1985) menemukan prilaku stimulasi dini sebagai berikut :
menatap dengan pandangan kosong lebih dari 3 detik.
meringis, membuka menutup mulut sehingga gigi-giginyatampak
melambaikan tangan secara vertical dan horizontal dengan jari-jari terbuka didepan
mengusap-usap mata
mengusap-usap hidung
mengusap-usap mulut
mengusap-usap telinga
mengusap-usap rambut
mengusap tangan ke udara
dua tangan saling mengusap
memanipulasi jari-jari tangan
memukul-mukulkan jari pada bagian tubuh lain atau benda lain
memasukkan benda atau barang kemulut
mengayun-ayunkan badan
memutar-mutar kepala
memanupalasi tubuh
vokalisasi (suara bermakna) berulang-ulang
membunyikan gigi
memutar-mutar air liur
mengetuk-ngetukan kaki kelantai
menggerak-gerakkan kaki
memukul-mukulkan kedua telapak tangan
meluruskan kaki dan mengangkutnya dari tanah
menggeleng-gelengkan kepala
3. prilaku bunuh diri
a. Pengertian
Bunuh diri (suicide) adalah usaha secara sengaja mengakhiri hidupnya sendiri. Istilah ini juga dipakai untuk semua tindakan yang mempunyai resiko besar, meskipun tidak bertujuan mengakhiri hidupnya, yang istilah alternatifnya adalah parasuaicide.
b. Penyebab bunuh diri
Brutting dan stephens (1987) mengidentifikasi penyebab perilaku bunuh diri pada anak dan remaja berilut ini :
1. kurangnya dukungan yang kuat dirumah atau keluarga.
2. masalah keluarga yang menyebabkan anak merasa tidak berdaya dan mampu mengendalikan hidupnya sendiri.
3. kurangnya dukungan dalam hubungan sosial
4. ketidakmampuan memecahkan masalah
Shears (Kauffman 1985) mengemukakan bahwa pemyebab bunuh diri sangat komplek, antara lain meliputi riwayat bunuhdiri atau usaha bunuh diri pada keluarga, psikosis, impulsive, konsep yang salah tentang seperti system pendidikan dan media massa. Semua factor tadi menyebabkan satu persepsi bahwa keberadaan mereka tidak tampak, sehingga satu-satunya cara agar keberadaan mereka diakui adalah dengan mati, dam bunuh diri nerupakan cara baik untuk dikenal.
Factor biologis dan non biologis diduga secara interaktif menjadi penyebab prilaku bunuh diri. Namun demikian, meskipun kompleknya interaksi, melunasi seberapa besar factor biologis berpengaruh terhadap prilaku bunuh diri bukanlah tidak mungkin.
c. Intervensi
Brutting dan Stephens (1987) menyarankan beberapa langkah untuk mengurangi resiko bubuh diri, antara lain terwujudnya suasana keluerga yang stabil, atau kelompok Pembina mirip keluarga, melibatkan anak dalam merencanakan dan mengendalikan hidupnya, pelatihan dalam pemecahan masalah dan penanganan yang wajar atas perilaku menyimpang yang berkaitan dengan bunuh diri misalnya menggunakan obat terlarang atau minuman keras.
Jika sudah terjadi kasus usaha bunuh diri, Sheras (Kauffman 1983) orangtuanya hendak menangani hal ini dengan penuh perhatian, mencoba mengadakan komunikasi, dan memberi dorongan mental sehingga apa yang mengganggu pikirannya dapat terkurangi. Menurut Sheras, berbagai pihak sebenarnya juga dapat berbuat untuk mengurangi resiko bunuh diri ini. Misalnya disekolah, sekolah menyediakan kurikulum yang dapat meminimalkan resiko bunuh diri, baik bidang akademik maupun bidang sosial.
Pendiam atau menyendiri menyangkut prilaku menjauhi orang lain, baik secara fisik mengadakan kontak sosial dengan orang lain. Anak pendiam atau menyendiri mungkin tidak memiliki keterampilan memberi respon pendekatan, misalnya cara memandang, berbicara, bermain, atau memengang teman atau orang dewasa. Mereka juga kurang rsponsif terhadap ajakan orang lainuntuk mengadakan kontak sosial.
Beberapa anak pendiam juga menunjukkan prilaku berlebihan yang menyimpang dari perkembangan sosial yang normal. Prilaku yang dimaksud misalnya berfantasi, terlalu asik dengan imaginasinya, prilaku stimulasi diri secara berlebihan. Stimulasi diri adalah berbagai bentuk perilaku yang berulang-ulang dank has bagi seorang anak, tetapi terjadi tanpa tujuan dan tak disengaja, untuk memberi stimulasi pada syarafnya sendiri, misalnya mengangguk-angguk, berkedip-kedip, menggerak-gerakan tangan dan sebagainya.
Kauffman (1985) mengelompokkan prilaku menyendiri menjadi tiga berdasarkan tingkatnya, yaitu sebagai berikut :
1. Isolasi Sosial
a. Pengertian
Isolasi sosial sering didefinisikan sebagai penolakan oleh teman-teman sebayanya (Kauffman 1985). Anak-anak semacam ini dapat ditemukan hamper semua kelas, dari tingkat taman kanak-kanak sampai kelasnya orang dewasa ditandai dengan kurangnya interaksi sosial. Karena tidak adanya interaksi sosial dengan lingkungannya, berbagai julukjan diberikan pada anak ini, misalnya hiasan dinding, patung dsb.
b. Penyebab Isolasi Sosial
Teori belajar sosial menduga bahwa setiap pendiam dan menyendiri disebabkan oleh kurangnya keterampilan berinteraksi sosial. Ketidakmampuan berinteraksi sosial ini mungkin terjadi karena anak memang belum dilatih, atau anak pernah mendapat hukuman (imbalan negative) pada waktu berusaha mengadakan interaksi sosial. Misalnya, seorang anak yang mencoba menanyakan sesuatu kepada ayahnya, pada hal ayahnya sedang marah kepada orang lain, anak ikut dubentak-bentak.
Tetapi data penelitian tidak mendukung kesimpulan bahwa pendiam atau menyendiri disebabkan oleh rasa cemas dan rasa rendah diri. Yang lebih logis adalah kekurangan keterampilan sosial pada anak telah mengakibatkan rasa cemas dan rendah diri. Sedang pengakangan yang berlebihan oleh orang tua, kekurangan keterampilan sosial, kurangnya kesempatan bergaul, dengan orang lain, atau pengalaman jelek dalam interaksi sosial dengan orang lain pada nasa kecil yang menyebabkan anak cendrung menyendiri dan menghindari kontak dengan orang lain. Orang tua yang canggung dalam pergaulan sosialnya akan mempunyai anak-anak yang keterampilan sosialnya tidak baik. Pengalaman menyakitkan dalam pergaulan sosial akan menyebabkan anaknya mersa cemas, kurang percaya diri, dan berfikir negative tentang dirinya, yang menyebabkan anak jadi pendiam dalam pergaulan sosialnya dan ini akan memburuk keterampilan sosialnya.
c. Penanganan Anak Terisolasi Sosial
Salah satu pendekatan untuk menangani anak-anak yang terisolasi sosial adalah melalui perbaikan konsep diri (self concept) anak dengan jalan mendorong anak untuk mengekspresikan semua perasaan danb persesinya tentang prilaku dan hubungan sosialnya. Hal ini dapat dilakukan dalam kegiatan terapi permainan atau dalam dialog tetapi yang melibatkan orang dewasa yang menerima sacara terbuka dan arat. Pendekatan ini dapat dilakukan berdasarkan pada asumsi bahwa dengan konsep diri baik,anak akan semakin berani terlibat dalm interaksi sosial. Begitu anak merasa diterima dan dapat mengekspresikan semua perasaannya secara terbuka, konsep dirimya akan menjadi lebih positif sehingga interaksi sosial secara positif juga akan bertambah baik.
Pendekatan lainnya, bersumber dari psikologi behavioristik, adalah dengan mengajarkan cara saling berinterakasi sosial secara positif dengan teman sebayanya. Dengan kata lain, pendekatan ini menekankan pada interaksi sosial anak, misalnya dengan menyediakan mainan atau perlengkapan yang memungkinkan anak bermain secara sosial, sehingga anak yang terisolasi dapat berdekatan dengan anak lain yang sudah memiliki ketrampilan sosial yang baik.
Kauffman (1985) mengemukakan 3 macam strategi intervensi behavioristik,yaitu:
i. Menyediakan penguat bagi interkasi sosial (dapat berupa pujian angka,atau token).
ii. Menyediakan teman sebaya sebagai model interaksi sosial sambil mengajarkan ketrampilan sosial tertentu.
iii. Menyuruh teman sebaya mengajak mengadakan dan memulai interaksi sosial.
2. Pendiam Autistic
a. Pengertian dan Penyebabnya
Salah satu karakteristik utama dari autistic kanak-kanak adalah tidak adanya hubungan sama sekali antara anak dan orang lain. Anak seakan-akan tidak menyadari apa yang ada dan terjadi disekitarnya.
Kuffman (1985) mendefenisikan pendiam autistic sebagai prilaku isolasi sosial secara ekstirm, tidak peduli apapun hasil diagnosa dan label kecacatan yang diberikan kepada anak. Kauffman juga mengemukan empat macam karakteristik yang berkaitan dangan penyendiri autistic, yaitu :
1. tidak responsive terhadap stimulasi sosial
2. kecengganan memandang
3. gangguan bahasa (ternasuk bisu)
4. stimulasi diri dan fantasi
b. Tidak tanggap terhadap stimulasi sosial
Tidak adanya kontak sosial dan ketidakmampuan menyesuaikan postur dan posisi tubuhnya pada orang dewasa yang mengganggu memberi kesan bahwa anak ini tidak berminat atau bahkan menolak hubungan kemanusiaan. Setelah anak tambah besar, mereka tidak merespon terhadap stimulus bahasa sehingga menimbulkan masalah pengendalian bagi kedua orang tuanya.
c. Keengganan Memandang (gaze averson).
Anak autistic sering tidak mampu menciptakan control pandangan atau cendrung menghindari pandangan lawan bicaranya. Mereka sering digambarkan “memandang tembus orang lain” atau memandang keluar dari orang lain karena sebenarnya mereka tidak memfokuskan pandangan pada muka orang lain.
Anak autistic jarang memandang muka orang lain, mereka lebih banyak mengandalkan melihat sepintas atau mencuri pandang orang lain. Lavass (Kauffman 1985) tidak percaya bahwa gaze aversion disebabkan oleh gangguan sistim syaraf. Tekanan memandang yang dianjurkan adalah membuat mereka mau memandang pada waktu pelatihan berbahasa karena tanpa melihat raut muka , sulit sulit bagi anak menirukan proses bahasa dan wicara.
d. Membisu, Bergema, dan Gangguan Bahasa Lain.
Sebagian besar anak autistic mempunyai gangguan berbahasa yang cukup parah. Sebagian besar dari mereka ternyata bisu, kira-kira 50% tidak menguasai bahasa lisan secara bermakna,ada yang menderita echolalic, yaitu menirukan apa yang didengar atau menggunakan kata ganti secara terbalik (saya dengan kamu), sebagian lagi hanya dapat mengeluarkan serangkaian bunyi yang tidak bermakna dan apa lagi yang termasuk electric mutisn, yaitu hanya mau berbicara kepada orang-orang tertentu atau dalam stuasi tertentu.
e. Stimulasi diri dan fantasi
Berdasarkan pengamatan pada salah satu anak yang menjadi subyek penelitiannya, Koegel, Firestonce, Kramme, dan Dunlap (Kauffman 1985) menemukan prilaku stimulasi dini sebagai berikut :
menatap dengan pandangan kosong lebih dari 3 detik.
meringis, membuka menutup mulut sehingga gigi-giginyatampak
melambaikan tangan secara vertical dan horizontal dengan jari-jari terbuka didepan
mengusap-usap mata
mengusap-usap hidung
mengusap-usap mulut
mengusap-usap telinga
mengusap-usap rambut
mengusap tangan ke udara
dua tangan saling mengusap
memanipulasi jari-jari tangan
memukul-mukulkan jari pada bagian tubuh lain atau benda lain
memasukkan benda atau barang kemulut
mengayun-ayunkan badan
memutar-mutar kepala
memanupalasi tubuh
vokalisasi (suara bermakna) berulang-ulang
membunyikan gigi
memutar-mutar air liur
mengetuk-ngetukan kaki kelantai
menggerak-gerakkan kaki
memukul-mukulkan kedua telapak tangan
meluruskan kaki dan mengangkutnya dari tanah
menggeleng-gelengkan kepala
3. prilaku bunuh diri
a. Pengertian
Bunuh diri (suicide) adalah usaha secara sengaja mengakhiri hidupnya sendiri. Istilah ini juga dipakai untuk semua tindakan yang mempunyai resiko besar, meskipun tidak bertujuan mengakhiri hidupnya, yang istilah alternatifnya adalah parasuaicide.
b. Penyebab bunuh diri
Brutting dan stephens (1987) mengidentifikasi penyebab perilaku bunuh diri pada anak dan remaja berilut ini :
1. kurangnya dukungan yang kuat dirumah atau keluarga.
2. masalah keluarga yang menyebabkan anak merasa tidak berdaya dan mampu mengendalikan hidupnya sendiri.
3. kurangnya dukungan dalam hubungan sosial
4. ketidakmampuan memecahkan masalah
Shears (Kauffman 1985) mengemukakan bahwa pemyebab bunuh diri sangat komplek, antara lain meliputi riwayat bunuhdiri atau usaha bunuh diri pada keluarga, psikosis, impulsive, konsep yang salah tentang seperti system pendidikan dan media massa. Semua factor tadi menyebabkan satu persepsi bahwa keberadaan mereka tidak tampak, sehingga satu-satunya cara agar keberadaan mereka diakui adalah dengan mati, dam bunuh diri nerupakan cara baik untuk dikenal.
Factor biologis dan non biologis diduga secara interaktif menjadi penyebab prilaku bunuh diri. Namun demikian, meskipun kompleknya interaksi, melunasi seberapa besar factor biologis berpengaruh terhadap prilaku bunuh diri bukanlah tidak mungkin.
c. Intervensi
Brutting dan Stephens (1987) menyarankan beberapa langkah untuk mengurangi resiko bubuh diri, antara lain terwujudnya suasana keluerga yang stabil, atau kelompok Pembina mirip keluarga, melibatkan anak dalam merencanakan dan mengendalikan hidupnya, pelatihan dalam pemecahan masalah dan penanganan yang wajar atas perilaku menyimpang yang berkaitan dengan bunuh diri misalnya menggunakan obat terlarang atau minuman keras.
Jika sudah terjadi kasus usaha bunuh diri, Sheras (Kauffman 1983) orangtuanya hendak menangani hal ini dengan penuh perhatian, mencoba mengadakan komunikasi, dan memberi dorongan mental sehingga apa yang mengganggu pikirannya dapat terkurangi. Menurut Sheras, berbagai pihak sebenarnya juga dapat berbuat untuk mengurangi resiko bunuh diri ini. Misalnya disekolah, sekolah menyediakan kurikulum yang dapat meminimalkan resiko bunuh diri, baik bidang akademik maupun bidang sosial.
:)
syukran atas infonya...:D
sngat berguna...
mnta copy yea...>_<