Hermeneutika:Pemahaman Konseptual dan Metodologis
Abstrak
Bahasa adalah media untuk mengeksplorasi semua ide dan perasaan manusia. Jadi bahasa adalah dimensi kehidupan yang selalu berkembang. Hal ini berkaitan dengan hermeneutika yang membuat bahasa sebagai tema sentral. Saat ini, berbicara tentang hermeneutik merupakan respon terhadap pengaruh strukturalisme dan positivisme yang hanya mempelajari bahasa dari struktur literal. Beasiswa jarang mengkonsentrasikan studi bahasa dari makna terdalam dan esensi itu. Dengan kata lain, studi bahasa pada tingkat ini masih marjinal di dunia linguistik atau sastra. The hermeneutik tidak hanya melihat ke teks harfiah, tetapi juga untuk melihatnya melalui pemahaman terdalam dari teks. Dengan demikian, analisis harus mempertimbangkan cakrawala dari penulis, teks, dan pembaca.
Keyword: hermeneutic, language, interpretation. Permasalahan sosial, politik, sastra, dan sebagainya tidak perna h lepas dari unsur bahasa sebagai medianya, sebab bahasa merupakan sarana seseorang meng -
ungkapkan ide, berpikir, menulis, berbicara, meng -apresiasi karya. Di sisi lain, pembicaraan tentang interpretasi terhadap teks untuk dicari maknanya terkait erat dengan her -meneuti ka. Hermeneutika teks dalam konteks diri manusia dengan relasi so-sialnya dan dalam relasi berbahasa dan berelasi sistem tanda itulah dirumuskan “siapa aku/diri ini dan siap diri yang lain itu? Contoh yang baik t erdapat dalam bahasa Indonesia sastrawi yang dieks -plorasi Pramoedya Ananta Toer. Ekspresi kreatif kode bahasa dan konvensi egaliter bahasa Indonesia Pram secara taj am meng-ungkapkan perl awanan terhadap strategi feodal budaya j awa yang memperbudak Nusantara ditambah kolonialisme sehing ga menj adi bangsa yang kerdil. Bahasa Pram mengungkap -kan perlawanan terhadap kultur yang menindas agar kemerdekaan diri dan kemerdekaan bangsalah yang di menangkan ( Sutrisno, 2004:4-5 ) .
Interpretasi teks dilakukan j uga oleh strukturalisme, semiotik, dan la in sebagainya. Oleh sebab itu, her -meneutika hadir kembali untuk me -respon pengaruh strukturalisme dan positivisme yang mengkaj i bahasa hanya dari struktur empiriknya belaka sehingga kaj ian bahasa dari segi haki katnya dalam mengungkap kan dunia manusiawi k urang memperoleh perhatian. Filsafat hermenutika menguak seluruh realitas bahasa sebagai ungkapan hakikat manusia sebagai makhluk yang ber -budaya dan menj adikan bahasa sebagai pusat berawal dan berakhirnya segala persoalan manusia, melalui analisis bahasa dapat dij elaskan berbagai persoalan kon-septual yang terkandung dalam teks ( Rahardj o, 2007:56 ) .
Tokoh Hermeneutika
Menurut Palmer ( 2005 ) , Sumaryono ( 1999 ) , dan Rahardj o ( 2007 ) , beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, ya itu per -tama Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher ( 1768 -1834 ) , tokoh hermeneutika roman tisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi ( teks bible ) menj adi metode memahami dal am pengertian filsafat. Menurut per spektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
Kedua, Wilhelm Dilthey ( 1833 -1911 ) , tokoh hermeneuti ka metodis, ber -pendapat bahwa proses pemahaman ber -mula dari pengalaman, kemudian men gekspresi kan nya. Pengalaman hidup manusia merupa -kan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa l alu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Ketiga, Edmund Husserl ( 1889 -1938 ) , tokoh hermeneuti ka feno -menologis, menyebut kan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias -bias subj ek penafs ir dan membiarkannya mengomuni kasikan maknanya sendiri pada subj ek.
Keempat, Martin Heidegger ( 1889 -1976 ) , tokoh hermeneuti ka dialektis, menj elaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu me -rupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Kelima, Hans -Georg Gadamer ( 1900 -2002 ) , t okoh hermeneuti ka dialogis, bagi nya pemahaman yang benar adalah pema -haman yang mengarah pada tingkat onto logis, bukan metodologis. Artinya , kebenar -an dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengaj u -kan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menj adi medium sangat penti ng bagi terj adinya dialog.
Keenam, Jurgen Habermas ( 1929 ) , tokoh hermeneuti ka kritis, menye but kan bahwa pemahaman didahului oleh kepent ingan. Yang menent ukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibat kan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial , s uku, dan gender.
Ketuj uh Paul Ricoeur ( 1913 ) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi j uga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya.
Kedelapan, Jacques Derrid a ( 1930 ) , tokoh hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyel ipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembac anya.
Hermeneutika sebagai
Alternatif Interpretasi
Ketika sebuah teks dibaca seseorang, di -sadari atau tidak akan memuncul kan in terpretasi terhadap teks tersebut. Mem -bicarakan teks tidak pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebut kan b ahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak yang memungkinkan ter -ciptanya dunia sej ak awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi ( Eagleton, 2006:88 ) .
Sebagai metode tafsir, hermeneutika menj adikan bahasa seba gai tema sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam meman-dang haki kat dan fungsi bahasa. Perkembangan aliran filsafat hermenuti ka mencapai puncaknya ketika muncul dua aliran pemi kiran yang berlawanan, yaitualiran Intensionalisme dan aliran Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir.
Sementara Hermeneutika Gada -merian sebaliknya memandang makna dicari, di konstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa berubah tergantung dengan bagai mana, kapan, dan siapa pembacanya ( Rahardj o, 2007:55 ) .
Peristiwa pemahaman t erj adi ketika cakraw ala makna historis dan asumsi kita berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneuti ka melihat sej arah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa ki ni, dan masa depan.
Metode hermeneutik mencoba menyesuai kan setiap elemen dalam setiap teks menj adi satu keseluruhan yang lengkap, dalam sebuah proses yang biasa dikenal sebagai lingkaran hermeneutik. Ciri -ciri individual dapat di mengerti berdasarkan keseluruhan konteks, dan keseluruhan konteks dapat dimengerti melalui ciri -ciri individual ( Eagleton , 2006:104-105 ) .
Kunci pemahaman adalah pertisipasi dan keterbukaan, bukan mani pulasi dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneuti ka tidak hanya memandang teks, tetapi j uga berusaha menyelami kandungan makna literalnya.
Hermeneutika ber usaha menggali mak -na dengan memperti mbangkan horison horison ( cakrawala ) yang melingkupi teks tersebut. Horison yang di maksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan memperhatikan keti ga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menj adi kegiatan rekon-struksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak bagai mana suatu teks di -muncul kan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, j uga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan si tuasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami.
Dengan kata lain, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi. ( Rahardj o, 2007:90 -91 ) .
Supriyono ( 2004 ) memberikan contoh tentang tulisan Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu . Pramoedya mengisahkan begitu saj a, apa adanya ten tang pengalaman para tahanan sehari -hari di pulau terpencil, Pulau Buru. Pengalaman bagai mana harus survive di bawah tekanan militer, pengal aman santiaji ( indoktrinasi ) Pancasila, pengalaman penyi ksaan fisik yang membuat pandangan mata kabur dan pen -dengarannya berkurang, pengalaman teman -temannya diperbudak sebagai penebang hutan untuk memperbesar kekayaan komandannya, pengalaman tentang usaha ternak ayam, tentang perj uangan keras membuka j alan, tentang pemberontakan dari para tahanan, tentang kematian teman -temannya yang sebagian misterius, dan lain -lain diceritakannya lebih berupa fakta. Akan tetapi, pemaknaan yang sesungguhnya atas realitas itu ber -langsung, yakni betapa kemanusiaan ditundukkan sedemi kian dahsyat nya sampai -sampai manusia tahanan politik kehilangan kemanusiaannya.
Interpretasi Budaya Indonesia
Indonesia yang memil iki lebih dari 1500 suku bangsa merupakan surga bagi perkembangan untuk memahami budaya. Oleh sebab itu, diversitas budaya danpluralitas budaya merupakan konsekuensi yang mendatangkan keuntungan untuk memperkaya kebudayaan.
Dengan hermenutika, tradisi budaya tidak dihapus, teta pi dipelihara bahkan distimulasi penjiwaan dan reintegrasinya, baik dalam konteks perjumpaan kebuda -yaan suku bangsa di dalam kebudayaan nasional maupun dalam konteks perjumpaan kebudayaan antar -bangsa ( Poespoprodjo, 2004:143 ) .
Lebih lanj ut Supriyono ( 200 4:144-145 ) menyebut kan bahwa pembentukan budaya dengan sendirinya melibatkan di dalamnya perbedaan -perbedaan budaya seperti ras, kelas, gender, dan tradisi budaya. Identitas budaya bukanlah identitas bawaan dan entitas yang sudah ditakdirkan, dan tidak bis a direduksi, tetapi adanya negosiasi identitas kultural mencakup perj umpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus akan menghasil kan pengakuan ti mbal balik akan perbedaan budaya.
Dalam sej arah kehidupan bangsa Indonesia, semasa rezi m Orde Baru, pernah dikondisi kan adanya interpretasi monolitik dari pemerintah terhadap semua aspek kebudayaan. Misalnya, pengertian kebudayaan nasional yang diartikan sebagai puncak-puncak budaya daerah dipaksakan ol eh pemegang otoritas untuk memilih puncak budaya da erah yang sesuai dengan kebij akan pemerintah dan pemakai budaya dipaksa untuk meneri manya, padahal bagi pendukung suatu budaya semua unsur kebudayaan adalah penting dan merupa -kan puncak kebudayaan.
Contoh lain, dalam khazanah karya sastra yang dianggap m enyuarakan komunisme, bai k isinya maupun pengarang yang dianggap komunis oleh pemerintah Orde Baru, harus di -musnahkan dan dilarang untuk di -bicarakan, bahkan karya sastra tersebut dilarang beredar di Indonesia.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer misalnya dilarang beredar di Indonesia bahkan dilarang untuk dibicarakan. Tetralogi Pulau Buru untuk kurun waktu tertentu tidak dapat dijumpai di Indonesia, tetapi dapat ditemukan di luar negeri. Akan tetapi, kekuatan rezi m Orde Baru tersebut tidak dapat mematikan wacana.
Teks ternyata tidak dapat dimati kan, yang ada sebenarnya hanya pemaknaan tunggal pada saat itu oleh pemerintah yang harus diterima semua komponen bangsa, pemaknaan lain tidak diperbo -lehkan. Impli kasinya, semasa rezi m Orde Baru tidak ada heterogenitas atau pluralitas budaya termasuk di dalamnya pemaknaan, yang ada hanya homogeni -sasi yang dipaksakan ( Supriyono, 2004:144 ) . Sekarang situasi lainlah yang kita dapat kan, kehancuran rezi m Orde Baru j uga sekali gus kehancuran pemak-naan tunggal atau homoge nisasi yang di paksakan.
Kedepan, dalam konteks budaya Indonesia yang plural, interpretasi budaya memerlukan reorientasi yang mendasar, selain itu perlu adanya perumusan kembali konsepsi kebudayaan nasional yang tidak monolitik, strategi kebu -dayaan nasiona l yang terarah dan memperhitungkan pluralitas budaya, serta politik kebudayaan nasional menj adi kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi karena merupakan penentu arah seluruh pembangunan di segala bi dang.
Oleh sebab itu, studi tema -tema hermeneuti ka sangat diperlukan dan merupakan conditio sine qua non . Mana kala dalam il mu nilai keluar dari kegunannya, dalam filsafat kegunaan keluar dari nilai ( Poespoprodj o, 2004:147 ) .
Daftar Pustaka
Ali, Lukman, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Departeme n Pendidikan dan Kebu -dayaan. Balai Pustaka, 1999 ) .
Eagleton, Terry. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif . Harfiah, ( Yogyakarta: Jalasutra, 2006 ) .
Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi , ( Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar, 2005 ) .
Poespoprodj o, W. Hermeneutika, ( Bandung: Pustaka Setia, 2004 ) . Rahardj o, Mudj ia. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana
Politik Gus Dur , ( Malang: Universitas Islam Negeri - Malang Press, 2007 ) . Sumaryono, E. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsaf at , ( Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1999 ) . Supriyono, J. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam Herme-neutika
Pascakolonial: Soal Identitas . Mudj i Sutrisno dan Hendar Putranto ( ed. ) , ( Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 2004 ) .
Sutrisno, Mudj i. “Rumitnya Pencarian Di ri Kultural” dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas . Mudj i Sutrisno dan Hendar Putranto ( editor ) , ( Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 2004 )