Blogs That Discuss About The World Of Education, Special Education Was Exceptional

Powered by Blogger.
.

PROPOSAL PENELITIAN

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK KESULITAN BELAJAR MELALUI METODE SUKU KATA DI SD 09 KECAMATAN PAUH
( Single Subject Research Kelas1A))

Oleh:
DWI INDRI OKTAFIANI
41888/2003

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2008

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam PP no.28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, pasal 3 dikemukakan bahwa pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Berkaitan dengan hal itu, dalam kurikulum pendidikan dasar di kemukakan bahwa pendidikan yang di selenggarakan Sekolah Dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar “baca-tulis dan berhitung”, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembanggannya, serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan di SLTP.
Keterampilan baca-tulis, khususnya harus di kuasai oleh para siswa di SD. Keberhasilan belajar mereka dalam mengikuti proses kegiatan belajar di sekolah sangat di tentukan oleh penguasaan kemampuan membaca permulaan. Siswa yang tidak mamapu membaca dengan baik akan mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran, karena mereka akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami informasi yang di sajikan dalam berbagai buku pelajaran, buku penunjang dan sumber-sumber belajar tertulis yang lainnya. Dan siswa tersebut akan lamban sekali dalam menyerap pelajaran. Akibatnya, kemajuan belajar juga lamban jika di bandingkan dengan teman-temannya yang tidak mengalami kesulitan dalam membaca.(Imam 1992:2)
Pembinaan kemampuan membaca secara formal di laksanakan dalam mata pelajaran bahasa indonesia. Menurut kurikulum berbasis kompetensi bahasa indonesia 2004, standar kompetensi mata pelajaran bahasa indonesia khususnya membaca permulaan, siswa di tuntut untuk mampu membaca huruf, suku kata dan kalimat. Pembelajaran di SD dilaksanakan sesuai dengan perbedaan atas kelas rendah dan kelas tinggi. Pelajaran di kelas rendah biasanya disebut sebagai pelajaran membaca permulaan (MMP), sedangkan di kelas tinggi di sebut pelajaran membaca lanjut.
Pelajaran membaca permulaan bertujuan agar sisiwa mengenal huruf dan merangkai huruf sehingga mereka dapat membaca dengan menggunakan kata tersebut. (Subarti dkk, 1991 / 1992 : 31)
Anak kesulitan belajar adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh adanya difusi neurologis, proses psikologis maupun oleh sebab lain sehingga prestasi belajar yang dicapai jauh berada di bawah potensi yang sebenarnya.(Depdikbud:1997)

Sebenarnya Anak kesulitan belajar sudah dikenal dalam dunia pendidikan. Namun demikian, penanganan terhadap mereka belum seperti yang di harapkan. Banyak faktor yang mempengaruhi keterlambatan perkembangan anak berkesulitan belajar. Salah satu di antaranya adalah karena kurangnya keterampilan guru dalam mengidentifikasi terhadap mereka, terutama kesulitan belajar membaca permulaan.
Kesulitan membaca permulaan menjadi penyebab utama kegagalan anak di sekolah. Hal itu terjadi karena membaca permulaan merupakan satu bidang akademik dasar selain menulis dan berhitung. Kemampuan membaca permulaan merupakan kebutuhan dasar, karena sebagian informasi di sajikan dalam bentuk tertulis dan hanya di peroleh melalui membaca. (Sunardi, 1997:1)
Adapun tujuan utama dari membaca permulaan adalah agar anak dapat mengenal tulisan sebagai simbol dan lambang bahasa, sehingga anak-anak dapat menyuarakan tulisan tersebut. Namun untuk dapat membaca permulaan seorang dituntut agar mampu:
1. Membedakan huruf
2. Mengucapkan tulisan yang sedang di baca dengan benar, menggerakan mata dengan cepat dari kiri ke kanan sesuai dengan urutan tulisan yang di baca.
3. Menyuarakan tulisan yang di baca dengan benar
4. Mengenal arti tanda-tanda baca
5. Mengatur tinggi rendah suara sesuai dengan bunyi, makna kata yang di ucapakan, serta tanda baca.
Berdasarkan study pendahuluan yang penulis lakukan pada bulan Agustus sampai November 2007 ini, penulis melihat anak kesulitan belajar (X) kelas satu di SD 09 Kecamatan Pauh mengalami kesulitan belajar membaca permulaan. karena kesulitan belajar membaca yang di milikinya sehingga ia juga memiliki kesulitan untuk mengikuti pelajaran yang lainnya. Sebab kemampuan membaca yang di milikinya anak sangat minim.
Sebenarnya Anak Kesulitan Belajar (x) sudah mengenal huruf, khususnya huruf vokal seperti: a, i, u, e, o. Anak sudah sangat hafal dan ingat sekali dengan huruf tersebut meskipun penulis meletakkan tidak berurutan dan memintanya menunjukkan serta menyebutkan satu persatu.. Selain huruf vokal tersebut, anak juga sudah mengenal huruf-huruf lainnya seperti huruf: b, c, f, g, j, m, n, p, q, r, s, t, k, w, z. Terbukti ketika penulis melakukan asesmen mengenal huruf a sampai z. ketika penulis cobakan dengan cara berurutan anak sudah sangat lancar sekali, namun ternyata anak menyebutkan huruf-huruf tersebut dengan hafalannya. Sebab ketika penulis cobakan lagi dengan cara mengacak huruf a sampai z tadi, ternyata masih ada beberapa huruf yang salah di sebutkan oleh anak seperti huruf d, l, y, h, x, dan v. Dari hasil asesemen itu penulis melihat, sepertinya anak sering salah menyebutkan karna adanya kemiripan bentuk antara beberapa huruf-huruf tersebut. Dimana kesalahan yang sering di lakukan anak adalah ketika menyebutkan huruf d menjadi b. l menjadi i, x menjadi y, v menjadi u dan h menjadi n. Sebab ketika penulis mengasesmen kemampuan dasar anak mengenal huruf, anak masih suka terbalik dalam menyebutkan huruf –huruf yang penulis jelaskan di atas. Selain itu anak masih lamban dalam mengeja huruf menjadi kata. Sehingga ketika anak membaca satu kata saja ia akan membutuhkan waktu yang cukup lama di bandingkan teman-temannya yang lain.Padahal anak sudah mengenal huruf-huruf yang akan di rangkaikan.. Dengan melihat kesulitan membaca anak yang anak sangat besar, maka disini penulis ingin membantu anak agar dapat membaca lebih mudah dan tidak cepat jenuh. Dengan cara meminta anak untuk menggabungkan huruf-huruf yang dikenal dengan ditambahkan huruf vokal, sehingga huruf tersebut bisa di baca menjadi suku kata. Misalnya anak sudah mengenal huruf b. Maka penulis membantu atau merubah metode membaca anak sebelumnya dengan langsung mengenalkan suku katanya. Sebab secara latar belakang anak tersebut sudah menggenal huruf vokal. Sehingga dengan huruf b anak jadi mampu membaca atau menyebutkan menjadi suku kata, seperti ba, bi, bu, be, bo. Disini anak sudah cukup baik dalam menyebutkannya. Meskipun penulis meminta anak menyebutkan dan menunjukkannya dengan sistim acak. Seperti be, bi, bo, ba, bu. Anak sudah tau mana huruf ba, bi, bu, be, bo dengan membacakan sambil menunjukkan, meski dengan cara berurutan atau acak. Selain itu penulis juga mengasesmen anak dengan huruf-huruf konsonan lain, yaitu dengan huruf-huruf konsonan yang sudah di kenal anak. Seperti huruf c, f, g, j, m, n, p, q, r, s, t, w, z.begitu juga seterusnya untuk huruf-huruf yang lain dan meminta anak menggabungkan huruf konsonan tersebut dengan huruf vocal. Disini penulis melihat anak sudah dapat membacanya cukup baik, walau terkadang masih salah dalam skala yang kecil. Dari hasil asesmen tersebut penulis dapat melihat anak mampu membaca suku kata yang penulis tunjuk sesuai dengan huruf-huruf konsonan yang di ketahui anak. Untuk huruf-huruf d, l, h, v, y, dan x. anak masih suka salah dan terbalik-balik dalam menyebutkannya. Dan ketika penulis cobakan dengan menggabungkan huruf-huruf konsonan di atas dengan huruf vocal, kesalahan anak sedikit berkurang. Sebab anak lebih tau membedakan antara huruf b dan d jika ditambahkan dengan huruf vokal sehingga huruf b dibaca ba dan huruf d dibaca da sebagaimana yang terdapat dalam teori membaca pada metode suku kata. Disini penulis lihat sepertinya anak lebih cepat pemahaman membacanya jika di bantu dengan metoda suku kata yang penulis terapkan dari pada metode eja yang selama ini di pakai anak selama belajar membaca di kelas.
Penulis sangat berharap metode suku kata yang berhasil membuat anak tunarungu yang penulis bimbing menjadi mampu membaca, juga bisa penulis terapkan terhadap anak kesulitan belajar (x) tersebut.
Berdasarkan study pendahuluan tersebut, maka penulis melakukan penelitian eksperimen dengan subjek tunggal untuk memberikan intervensi terhadap kemampuan membaca anak kesulitan belajar (x) melalui metode suku kata, dengan tujuan agar anak tersebut dapat membaca dengan lancar dan untuk melihat apakah metode suku kata dapat meningkatkan kemampuan membaca anak kesulitan belajar (x) tersebut.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan masalah yang telah penulis paparkan pada latar belakang di atas maka identifikasi masalahnya dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Anak belum mampu membaca.
2. Anak masih sering salah menyebutkan huruf. Seperti huruf: d, r, l, y, v. h, dan x.
3. Anak mengalami kesukaran dalam menggunakan metode eja dan lebih cepat membaca dengan menggunakan metode suku kata.
4. Guru kelas kurang memperhatikan faktor penghambat belajar membaca pada anak.
5. Guru kelas tidak mencari metode yang tepat untuk di terapkan kepada anak.

C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah maka penulis membatasi masalah pada: meningkatkan kemampuan membaca dengan menggabungkan beberapa suku kata untuk menjadi menjadi kata, sehingga bisa di baca pada anak kesulitan belajar melalui metode suku kata.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka rumusan permasalahannya adalah: apakah metode suku kata dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan bagi anak kesulitan belajar (x) kelas 1 SD 09 kecamatan Pauh.



E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode suku kata dapat meningkat kemampuan membaca permulaan anak kesulitan belajar (x) kelas 1 SD 09 kecamatan Pauh.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya di harapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Terkhususnya bagi anak kesulitan belajar dan pendidikan luar biasa pada umumnya, antara lain:
1. Anak kesulitan belajar, agar dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan.
2. Guru Kelas, agar lebih mudah dalam mengajar dan memilihkan metode yang sesuai dengan karakteristik anak.
3. Peneliti, semoga dapat menambah wawasan peneliti tentang metode suku kata yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan bagi anak kesulitan belajar.

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Membaca
1. Hakekat Membaca
Pada hakekatnya membaca merupakan proses memhami dan merekonstruksi makna yang terkandung dalam bahan bacaan. Pesan atau makna yang terkandung dalam teks bacaan merupakan interaksi timbal balik, interasi aktif, dan interasksi dinamais antara pengertahuan dasar yang dimiliki pembaca dengan kalimat-kalimat fakta dan informasi yang tertuang dalam teks bacaan merupakan informasi yang tersimpan dalam memori otak/fikiran pembaca atau dapat disebut dengan sumber informasi nonvisual, kedua macam sumber informasi tersebut perlu dimiliki secara berimbang oleh pembaca. Artinya kemampuan mengenal informasi viusual perlu diikuti dengan pengetahuan dasar yang diperlukan untuk memahami suatu teks bacaan.
Demikian pula sebaiknya, pengetahuan dasar yang telah dimiliki perlu di lanjutkan dengan kemampuan memahami informai visual yang ada pada teks bacaan, kemampuan penunjang lain yangt perlu dimiliki pembaca yaitu kemampuan menghubungakn gagasan yang dimiliki dengan menggabungkan materi bacaan. Dalam kaitannya dengan pemahaman dan perkonstruksian pesan atau makna yang terkandung dalam teks bacaan. Harirs, dan Sipay (1980) menyatakan bahwa membaca merupakan proses menafsirkan makna bahasa tulis secara tepat. Pengenalan makna kata sesuai dengan konteksnya merupakan prasyarat yang di perlukan untuk memahami pesan yang terdapat pada bahan bacaan.
2. Membaca permulaan
Menurut Rita Wati (1996:43) membaca permulaan merupakan membaca awal yang diberikan kepad anak di kelas I dan II sebagai dasar untuk pelajaran selanjutnya. seiring denganb itu Sahari (1994:11) mengemukakan membaca adalah:
Kegiatan dalam menerapkan dalam kemampuan berbahasa (linguisti) dengan melibatkan faktor biologis dan psikis yang di pengaruhi oleh lingkungan denagn huruf, suku kata, kata dan kalimat sebagai objek bacaan sebagai tingkatan awal dalam belajar membaca

Pembelajaran membaca di kelas I dan kelas II merupakan pelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca yang di peroleh anak di kelas I dan kelas II tersebut akan menjadi dasar pembelajaran membaca kelas-kelas berikutnya.
Supryadi (1993) mengemukakan bahwa “ kemampuan membaca yang di peroleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut”. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhataian guru, sebab jika dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca lanjut anak akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai.

2. Tujuan membaca permulaan
Tujuan membaca permulaan tidak terlepas dari tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pengajaran pada khususnya. Tujuan pengajaran membaca permulaan pada dasarnya adalah memberikan bekal pengetahuan dan kemampuan siswa untuk menguasai tehnik-tehnik membaca dan menangkap isi bacaan dengn baik dan benar.
Menurut Rita Wati (1996:43) tujuan pengajaran membaca permulaan adalah “ agar siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat sederhana dengan lancara dan tepat. Pengajaran membaca permulaan disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan kejiwaan peserta didik”.

3. langkah-langkah membaca permulaan
Rita Wati (1996:51) mengemukakan langkah-langkah membaca permulaan sebagai berikut:
a. Mengenal unsur kalimat
b. Mengenal unsur kata
c. Mengenal unsur huruf
d. Merangkai huruf menjadi suku kata
e. Merangkai suku kata menjadi kata



Sedangkan menurut Sibarani Akhadiah (1992:1993:34) mengemukakan langkah-langkah pengakaran membaca permulaan sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan pokok bahasan yang akan di berikan. Tujuan ini dapat di ambil dari GBPP
b. Mengembangkan bahan pengajaran
c. Setelah bahan pelajaran dan bahan latihan disusun, kemudian harus memikirkan bagaimana cara menyampaikan. Bagaimana urutan pemberian bahan-bahannya, dan bagaimana cara mengaktifkan siswa.
d. Pada tahap latihan, guru dapat membuat kombinasi baru, baik dengan kata maupun suku kata, dan huruf. Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan kartu-kartu yang tersedia, anak dapat bermain dengan kartu-kartu tersebut. Misalnya membentuk suku kata, kata ataupun kalimat.
e. Untuk memantau apakah anak telah mencapai tujuan yang di tetapkan, guru dapat membuat tes formatif. Dalam hal ini guru dapat menggunakan berbagai cara yaang ddi naaggap terbaik untuk kelangsungan pembelajaran.
Berdasrkan hal di atas, agar tuuan pengejaran membaca dapat tercapai dengan baik, sebaiknya guru menetapkan langkah-langkah tersebut dilakukan secara berulang-ulang.


4. Pelaksanaan membaca permulaan
pelaksanana pengajaran membaca permulaan di Indonesia di lakukan dengan menggunakan bahan bacaan bahasa Indonesia, padahal sebagian besar anak Indonesia tumbuh dan lahir sebagai insan daerah yang menggunakan bahsa daerah. Oleh karena itu penggunaan bahasa Indonesia dalam bahan bacaan untuk pengajaran membaca sangatlah diperuntukkan bagi anak-anak diseluruh Indonesia.

B. Metode suku kata
1. Penegrtian Metode suku kata
Menurut Depdikbud (1992:12) metode suku kata adalah suatu metode yng memulai pengajaran membaca permulaan dengan menyajikan kata-kata yang sudah di rangkai menjadi suku kata, kemudian suku-suku kata itu di rangkai menjadi kata yang terakhir merangkai kata menjadi kalimat.
Misalnya:
Ma-ta mata
Ka-ki kaki
Mata kaki
Sedangkan pendapat Muhammad Amin (1995:207) metode suku kata adalah “ suatu metode yang di mulai dnegan mengajar suku-suku kata kemudian suku kata di gabungkan menjadi kata dan diuraikan menjadi huruf. Misalnya:
Ma-ta mata
m-a-t-a
Sesuai dengan suku kata itu masing-masingsuku kata di beda-bedakan, ada yang terdiri atas satu huruf awal dan konsonan. Atau satu vocal di apit oleh konsonan. Dalam metode suku kata perlu diperhatikan huruf yang akan di pekenalkan sebaiknay dimulai dengan jumlah yang terbatas tetapi yang melahirkan kombinasi yang bermacam-macam. Misalnya:
i-tu
i-ni

2. Keunggulan metode suku kata
Setiap metode memiliki keuntungan dan kelemahan masing-masing. Hal ini sesuai dengan pendapat Makmur Karim (1984) yang mengatakan keuntungan dari metode suku kata yang membantu anak dalam membaca permulaan, antara lain:
a. Dalam membaca tidak ada mengeja huruf demi huruf sehigga mempercepat proses penguasaan kemampuan membca permulaan
b. Dapat belajar mengenal huruf dengan mengupas aau menguraikan suku kata suku kata yang dipergunakan dalam unsur-unsur hurufnya
c. Penyajian tidak memakan waktu yang lama
d. Dapat secara mudah mengetahui berbagai macam kata


Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat di tegaskan keuntungan metode suku kata ini adalah untuk membantu anak kesulitan belajar yang cepat bosan, sehingg metode uku kata ini dapat di gunakan untuk meningkatkan motivasi belajar membaca anak kesuliatn belajar.
a. Kelemahan Metode suku kata
Bagi anak kesuliatan belajar yang kurang mengenal huruf, akan mengalami kesulitan merangkaikan huruf menjadi suku kata.

b. Langkah-langkah pelaksanaan metode suku kata
a. Guru merangkaikan atau menggabungkan huruf konsonan dengan huruf vocal yang sudah di kenalkan anak dan membentuk suku kata/terdiri dari satu suku kata, lalu membaca huruf konsosnan dalam kalimat dan huruf vocal yang di rangkaikan tersebut bersama anak. Misalnya:
b. Guru menuliskan kata-kata yang sudah di kupas menjadi suku kata, lalu membaca suku kata tersebut bersama anak. Mislnya:
Bo-la
Ka-ki
c. Guru merangkaikan/menuliskan suku kata menjadi kata, lalu membaca suku-suku kata yang sudah di rangkaikan menjadi kata tersebut bersama anak
Bo-la  bola
Ka-ki  kaki
d. Kemudian guru merangkaikan atau menuliskan kata menjdai kalimta, lalu membaca kata yang sudah di rangkai menjadi kalimat tersebut bersama anak. Misalnya:
bola
kaki
bola kaki
C. Hakekat Kesulitan Belajar
1. Definisi Anak kesulitan belajar
Kesulitan belajar merupakan oeristilahan yang di gunakan pada siswa-siswa yang mempunyai kesulitan tidak dapat mengikuti kegiatan belajar ,mengajar disebabkan karena kurangnya intelegensi, kelainan sensoris, ketidak beruntungan ayau ketidak cukupan budaya atau bahasa (Bauer, Keefe and Shea, 2001). Kelainan in i di tampilkan dengan ditandai oleh adanya perbedaan antara kemampuan dan prestasi akademik. Kelomppok kecil ini, kurang dari 3 persen dari populasi sekolah, terbiasa dalam masalah kronis alamn bidang keterampilan dasar akademis, seperti membaca, menulis, mengeja dan matematika. Beberapa siswa dengan kesulitan belajar juga mungkin mempunyai masalah dengan keterampilan sosial, beberapa diantaranya memiliki kesulitan dalam keterampilan fisik.
National Join Committee on Learning Disabilities mengemukakan definisi kesulitan belajar yang merupakan hasil revisi pada tahun 1998 sebagai berikut:
Kesulitan belajar adalah istilah umum yang berhubungan dengan kelompok heterogen kelainan yang di hubungkan dengan adanya kesulitan yang signifikan dalam mempoeroleh dan menggunkan pendengaran, berbicara, membaca, menulis, berfikir, dan kemampuan matematika. Kelainan-kelainan ini terdapat dalam diri individu disebabkan oleh adanya difusi system syaraf pusat dan dapat terjadi selama hidupnya. Masalah perilaku mengarahkan diri, persepsi sosial, dan karena faktor-faktor itu kesulitan belajar ini muncul.
Krik dalam Wardi (1995:12) menyatakan bahwa:
Kesulitan belajar di definisikan sebagai keterlambatan atau penyimpangan dalam bidang akademik dasar (seperti berhitung, membacadan menulis), serta gangguan berbicara dan berbahasa namun bidang-bidang ketidak mampuan kesulitan belajar dapat di kaitkan dengan lemah metal.

Depdikbud (1997) menggungkapkan definisi anak kesulitan belajar sebagai berikut:
Anak kesulitan belajar adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh adanya difusi neurologis, proses psikologis maupun oelh sebab lain sehingga prestsi belajarnya berada di bawah potensi yang sebenarnya


2. Ciri-ciri anak kesulitan belajar
Anak kesulitan belajar menggambarkan suatu keadaan kesulitan dalam mencapai hasilbelajar antara lain:
a. Prestasi belajar yang di capai selalu beradadi bawah rata-rata prestasi belajar kelompoknya. Dengan kata lain anak yang mengalami kesulitan belar prestasi belajarnya rendah, mungkin prestasi dan mata pelajaran secara keseluruhan, mungkin juga prestasi dalam mata pelajaran tertentu.
b. Dalam melaksanakan tugas-tugas kegiatan belajar selalu menglami keterlambatan dibandingkan dengan anak-anak lain sekelasnya, sehingga waktu yang disediakan tidak mencukupi.
c. Dalam hal kepribadian kadang-kadang mereka menunjukkan sikap yang negatifdalam berperilaku. Seperti acuh tak acuh, kurang konsentrasi, sering membolos, mengganggu teman, tidak suka mencatat pelajaran, tidak mengerjakan tugas, bahkan sering menyendiri atau murung.
Bardasarkan hal tersebut di atas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa anak yang mengalami kesulitan dalam mengalami kesulitan dalam menggerjakan tugas-tugas akdemik di sekila, baik di sebabkan oleh adanya difusi neurologis, proses psikologi dasar, maupun sebab-sebab lain, sehingga prestasi belajar yang dicapai jauh beradadi bawah potensi yang sebenarnya.
Untuk mengenal berbagai jenis kesulitan belajar yang di alami oelh anak, maka perlu kita amatiberbagai aspek yang berperan dan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar, yaitu:
a. karena adanya gangguan fisik seperti: penglihatan, pendengaran, bicara, cacat tubuh, cacat otak.
b. Karena gangguan emosi.
c. Karna keterbatasan berfikir atau lamban belajar
d. Karena memiliki kemampuan mental tinggi atau berbakat (giftet/talentet).
e. Karena gangguan khusus lainnya: gangguan membaca, perkembangan bahasa, berbicara, berhitung, motorik, konsentrasi atau autistik.
3. Penyebab Kesulitan Belajar
Perstasi belajar di penggaruhi oelh dua faktor, internal, dan ekstenal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya difusi neurologis, sedangkan penyebab utama problem belajar (learning problems) adalah faktor eksternal, yaitu anatara berupa strategi pembelajaran yang ekliru, pengelolahan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tepat.
Difusi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan difusineurologis yang pada giliranyya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain adalah (1) faktor genetika, (2) luka pada otak atau karena trauma fisik atau kekurangan oksigen, (3) biokomia yang hilang (misalnya biokomia yang di perlukan untuk memfungsikan saraf otak), (4) biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan), (5) pencemaran madai, dan (7) pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak(deprivasi lingkungan). Dari berbagai penyebab tersebutdapat menimbulkan gangguan dari tarafnya ringan hingga yang tarafnya berat.
D. Kerangka konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka berfikir penulis, sehingga memudahkan penulis dalam melaksanankan penelitian ini. Adapun kerangka fikir penulis dalam melaksanakan penelitian ini di awali dengan kondisi awal, yakni di temui permasalahan di lapangan terhadap seorang anak kesulitan belajar dengan kesulitan membaca permulaan. Penulis mengharapkan adanya peningkatan kemampuan membaca permulaan pada anak tersebut, oleh karena itu penulis memilih metode suku kata untuk di terapkan kepada anak kesulitan belajar (x) agar anak tersebut mampu membaca dengan baik. Untuk dapat jelasnya dapat di lihat pada bagan berikut ini:
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha = kemampuan membaca permulaan anak kesulitan belajar dapat di tingkatkan melalui metode suku kata
Ha = Kemampuan membaca permulaan anak kesulitan belajar tidak dapat di tingkatkan dengan menggunkan metode suku kata.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diteliti yaitu “Meningkatkan kemampuan membaca permulaan anak kesulitan belajar dengan menggunakan metode suku katas di SD 09 KECAMATAN PAUH”, maka peneliti memilih jenis penelitian adalah eksperimen dalam bentuk Single Subject Research (SSR). Eksperimen merupakan suatu kegiatan percobaan yang dilakukan untuk meneliti suatu peristiwa atau gejala yang muncul terhadap suatu kondisi tertentu. Penelitian ini menggunakan bentuk desain A dan B, dimana A merupakan Phase Baseline dan B merupakan fase intervensi. Desain ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Menurut Juang (2005:57) phase baseline adalah phase saat variable terikat (target behaviour) diukur secara priodik sebelum diberikan perlakuan tertentu. Dalam hal ini beberapa kali anak dapat melakukan dengan benar sebelum perlakuan diberikan. Sedangkan phase Treatment adalah phase saat target behavior di observasi atau diukur selama perlakuan tertentu diberikan.
Menurut Edi (2005:222), Base-line merupakan rata kemunculan perilaku dalam periode tertentu setelah diukur melalui pengamatan.
Pada penelitian ini mempunyai satu sub variable yang akan di capai yaitu memasang tali sepatu. Yang menjadi phase A (baseline) yaitu kemampuan awal anak kesulitan belajar dalam membaca permulaan sebelum menggunakan metode suku kata, sedangkan yang menjadi phase B (intervensi) yaitu kemampuan membaca permulaan anak kesulitan belajar setelah menggunakan metode suku kata.

B. Variabel Penelitian
Menurut Juang (2005:12), Variabel merupakan istilah dasar dalam penelitian eksperimen termasuk penelitian dengan subjek tunggal. Dalam penelitian eksperimen. Variabel merupakan suatu atribut atau ciri-ciri mengenai sesuatu yang diamati dalam penelitian. Dengan demikian variable dapat berbentuk kejadian yang dapat diamati dan diukur, biasanya menggunakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas dan variabel terikat. Variabel terikat dalam penelitian kasus tunggal dikenal dengan target behavior (perilaku sasaran), sedangkan variabel bebas dikenal dengan istilah intervensi (perlakuan). Adapun variabel terikat dalam penelitian ini yaitu kemampuan membaca permulaan dan memiliki satu sub variabel, sedangkan variabel bebasnya yaitu metode suku kata.
C. Defenisi Operasional Variabel
Defenisi operasional dari variabel-variabel yang akan peneliti teliti antara lain:
1. Kemampuan membaca permulaan
Kemampuan membaca yang di peroleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Oleh karena itu membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru. Sebab jika dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca lanjut anak akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai. Disini penulis melihat dari adanya bebrapa huruf yang belum di ketahui oleh anak sebelum di berikan perlakuan.
Kemampuan membaca yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kemampuan mengenal huruf mulai dari huruf a samapai dengan z. Selanjutnya menggabungkan huruf-huruf yang di kenal dengan huruf vokal sehingga menjadi suku kata. Dari suku kata tersebut di rangkai menjadi kata dan yang terakhir dari kata disusun menjadi sebuah kalimat sedehana. Disini yang penulis lihat adalah kemampuan anak kesulitan belajar dalam membaca dan menyebutkan, baik huruf atau kata yang penulis tunjuk secara berurutan dan acak sebelum di berikan perlakuan. Dan setelah itu melihat ketepatan anak setelah diberikan perlakuan berupa penggunaan metode suku kata dalam membantu anak membaca.


2. Metode suku kata
Metode suku kata adalah salah satu metode yang digunakan dalam mengajar membaca permulaan. Dalam penelitian ini penulis mencoba merangkaikan atau menggabungkan huruf konsonan dengan huruf vocal yang sudah di kenalkan anak dan membentuk suku kata/terdiri dari satu suku kata, lalu membaca huruf konsosnan dalam kalimat dan huruf vocal yang di rangkaikan tersebut bersama anak. Misalnya:
a i u e o
b  ba bi bu be bo
c  ca ci cu ce co
d da di du de do
f  fa fi fu fe fo
g  ga gi gu ge go
h ha hi hu he ho
j  ja ji ju je jo
k  ka ki ku ke ko
l  la li lu le lo
m ma mi mu me mo
n  na ni nu ne no
p  pa pi pu pe po
r  ra ri ru re ro
s  sa sis u se so
t  ta ti tu te to
v va vi vu ve vo
w  wa wi wu we wo
y  ya yi yu ye yo
z  za zi zu ze zo
setelah itu penulis memulai pengajaran membaca permulaan dengan menyajikan kata-kata yang sudah di rangkai menjadi suku kata, kemudian suku-suku kata itu di rangkai menjadi kata yang terakhir merangkai kata menjadi kalimat.
Misalnya:
Ma-ta mata
Ka-ki kaki
Mata kaki

Dalam penelitian ini peneliti tidak mengukur kecepatan membaca anak, akan tetapi kemampuan anak dalam membaca suku kata, di mana peneliti melihat apakah kemampuan membacanya dapat meningkat setelah dibantu dengan metode suku kata. Target penilaian dalam penelitian ini adalah sesuai satu sub variabel tersebut, yaitu kemampuan dalam membaca 2 samapai 3 suku kata. Peneliti mengukur banyaknya suku kata yang dapat di baca anak menjadi kata, kemudian mengumpulkan data tersebut pada format penilaian. Membaca dengan tepat adalah menyebutkan setiap suku kata dan kata tanpa ada kesalahan. Jika masih ada suku kata atau kata yang di sebutkan dengan salah maka dinyatakan belum benar dan harus mengulang membaca kembali.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu yang dijadikan bahan atau sasaran dalam suatu penelitian. Juang (2005:2) menyatakan “penelitian single subject Research digunakan untuk subjek tunggal, dalam pelaksanaannya dapat dilakukan pada seorang subjek atau sekelompok subjek”. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek adalah kesulitan belajar beridentitas X di SD 09 KECAMATAN PAUH.. Secara fisik anak X sangat normal, dan memiliki anggota tubuh yang lengkap. Hanya saja memiliki hambatan dalam membaca.

E. Teknik dan Alat Pengumpul Data
1. Tekhnik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan langsung oleh peneliti melalui kegiatan observasi secara langsung yang dilakukan untuk mencatat data variable terikat pada saat kejadian. Mencatat data tentang kemampuan membaca kata sebanyak 2 sampai 3 suku kata.
2. Alat Pengumpul Data
Data dikumpulkan langsung oleh peneliti setelah anak melaksanakan permainan menjahit jelujur. Adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode suku kata.Pada penelitian ini peneliti mengukur kemampuan dan ketepatan anak mengenal suku kata. kemampuan awal (baseline) anak dalam kemampuan membaca permulaan yaitu kemampuan anak dalam emmbaca kata sebanyak 2 sampai 3 suku kata. Pengukuran penelitian ini tidak dengan durasi waktu tapi dengan melihat kemampuan anak dalam membaca. Dimana anak akan di berikan beberapa suku kata untuk di baca menjadi kata sesuai dengan langkah-langkah intervensi. Pengumpulan data ini dilaksanakan setiap tiga kali dalam seminggu. Jika data yang didapat sudah mencapai kemampuan rata-rata atau stabil maka peneliti dapat menghentikan penelitian.

F. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap terakhir sebelum penarikan kesimpulan. Menurut Juang (2000:21), bahwa penelitian dengan single subject research yaitu penelitian dengan subjek tunggal dengan prosedur penelitian menggunakan desain eksperimen untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap perubahan tingkah laku. Data dianalisis dengan menggunakan tekhnik analisis visual grafik (Visual Analisis of Grafik Data), yaitu dengan cara memplotkan data-data ke dalam grafik, kemudian data tersebut dianalisis berdasarkan komponen-komponen pada setiap kondisi (A dan B), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Analisis Dalam Kondisi
Analisis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data grafik masing-masing kondisi, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menentukan panjangnya kondisi
Menurut Juang (2005:96), Panjang kondisi dilihat dari banyaknya data poin atau skor pada setiap kondisi. Seberapa banyak data poin yang harus ada pada setiap kondisi tergantung pada masalah penelitian dan intervensi yang diberikan. Untuk panjang kondisi baseline secara umum biasa digunakan tiga atau lima data poin. Untuk panjang kondisi pada penelitian ini diperkirakan ada empat sampai lima hari, tergantung pada data yang diperoleh. Sedangkan pada pase setelah intervensi diperkirakan sekitar delapan kali evaluasi, inii juga tergantung pada kondisi data. Jika data yang didapat sudah stabil, maka penelitian ini dapat dihentikan.
b. Menentukan estimasi kecendrungan arah
Menurut juang (2005:98), ada tiga macam kecenderungan arah grafik (trend/slope). Kecenderungan arah grafik atau trend menunjukkan perubahan setiap data path (jejak) dari sesi ke sesi. Mengestimasi kecendrungan arah dengan menggunakan metode belah dua (split middle). dengan cara: bagilah data pada fase A dan B menjadi dua bagian, kemudian dua bagian kanan dan kiri masing-masingnya juga dibagi dua, tentukan posisi median dari masing-masing belahan, terakhir tarik garis sejajar dengan absis yang menghubungkan titik temu antara masing-masing fase.
c. Menentukan kecendrungan kestabilan (Trend Stability)
Untuk menentukan kecendrungan kestabilan dapat dihitung dengan cara berikut seperti yang dikatakan Juang (2005:111) dengan langkah-langkah sebagai berikut: tentukan rentang stabilitas, yaitu menggunakan kriteria stabilitas sebesar 15%, dengan rumus,


Menghitung Mean Level, yaitu semua skor dijumlahkan dan di bagi dengan banyak poin data, Menentukan batas atas dengan cara mean level + setengah rentang stabilitas, menentukan batas bawah dengan cara mean level – setengah rentang stabilitas, tentukan persentase stabilitas yang berada dalam rentang stabilitas dengan cara:.



Dengan kriteria stabilitas 85% sampai dengan 90% disebut stabil, jika kurang dari 85% disebut variabel.
d. Menentukan jejak data
Juang (2005:114) mengemukakan untuk menentukan data path within trend hampir sama dengan arah kecendrungan, yaitu dimasukan hasil yang sama seperti kecendrungan arah. Apakah meningkat (+), menurun (-) atau sejajar dengan sumbu X (=).
e. Menentukan level stabilitas dan rentang
Tingkat stabilitas (level stability) menunjukkan derajat variasi atau besar dan kecilnya rentang pada kelompok data tertentu. Jika rentang datanya kecil atau tingkat variasinya rendah, maka data dikatakan stabil. Secara umum 85%-90% data dikatakan stabil, sedangkan dibawah itu dikatakan tidak stabil (variabel). Untuk menentukan tingkat dan rentang stabilitas yaitu dengan cara menentukan rata-rata tingkat yang dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai seluruh titik data dan membagi jumlahnya dengan jumlah titik data. Kemudian dengan menggunakan Trend Stability Criterion Envelope disekitar rata-rata (bagian atas dan bagian bawah). Range ditentukan dengan mengidentifikasi titik data pada ordinat dari ordinat yang paling rendah dan nilai ordinat yang paling tinggi dengan rumus:



f. Menentukan level perubahan
Menurut Juang (2005:115) untuk menentukan tingkat perubahan atau level change yang menunjukkan beberapa besar terjadinya perubahan data dalam suatu kondisi. Cara menghitungnya adalah dengan : Menetukan berapa besar data poin (skor) pertama dan terakhir dalam suatu kondisi, kurangi data yang besar dengan data yang kecil, terakhir tentukan apakah selisihnya menunjukkan arah yang membaik atau memburuk sesuai dengan tujuan intervensi atau pengajaran.



Setelah data analisis dalam kondisi didapat maka dimasukkan pada tabel rangkuman hasil visual dalam kondisi.


2. Analisis Antar Kondisi
Juang (2005:117) mengatakan untuk memulai menganalisa perubahan data antar kondisi, data yang stabil harus mendahului kondisi yang akan dianalisa. Karena jika data bervariasi (tidak stabil) maka akan mengalami kesulitan untuk menginterpretasi. Disamping aspek stabilitas ada tidaknya pengaruh intervensi terhadap variable terikat juga tergantung pada aspek perubahan level, dan besar kecilnya overlap yang terjadi antara dua kondisi yang dianalisis.
Adapun komponen dalam analisis antar kondisi adalah:
a. Menentukan banyaknya variable yang berubah, yaitu dengan menentukan jumlah variabel yang berubah diantara kondisi Baseline dan Intervensi.
b. Menentukan perubahan kecenderungan arah, dengan mengambil data pada analisis dalam kondisi yang berubah diatas.
c. Menentukan perubahan kecenderungan stabilitas, dengan melihat kecendrungan stabilitas pada kondisi A dan B pada rangkuman analisis dalam kondisi.
d. Menentukan level perubahan, seperti yang dikemukakan Juang (2005:115) yaitu:
1) Melihat nilai terakhir pada kondisi A dan nilai pertama pada kondisi B
2) Mengurangi nilai terbesar dengan nilai terkecil
3) Mencatat apakah perubahan tersebut membaik atau memburuk, dan jika tidak ada perubahan maka ditulis nol
e. Menentukan persentase Overlape data kondisi A dan B
Adapun caranya menurut Juang (2005:118)
1) Lihat kembali data pada kondisi A dan B yang berada pada rentang kondisi A.
2) Hitung berapa data point pada kondisi B yang berada pada rentang kondisi A,
3) Perolehan pada langkah nomor 2 dibagi dengan banyaknya data point dalam kondisi B, kemudian dikalikan seratus. Jika semakin kecil persentase Overlap maka semakin baik pengaruh intervensi terhadap target behavior.
Setelah diketahui masing-masing komponen tersebut maka dimasukan dalam table rangkuman hasil analisis antar kondisi.


DAFTAR PUSTAKA

Budiono, (2005), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.
Darminati. (1996), Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Depdikbud.
---------, (1992), Pelaksanaan Pengajaran Membaca dan Menulis Permulaan. Jakarta: Depdikbud.
Daryanto, (1997) Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Lengkap EYD dan Pengetahuan Umum. Surabaya: Apollo
Djaja Rahardja, (2006), Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Universitas Tsukuba: Criced
Juang Sunanto, (2005), Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal. Universitas Tsukuba: Criced
Makmur Karim. (1984). Mampu Berbahasa Indonesia. FPTK. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Padang.
Manulang, (2004), Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Andi: Yogyakarta
Munawir Yusuf, (1997). Mengenal Siswa Berkesulitan Belajar. Jakarta: Depdikbud.
Ritawati Wahyudin, (1996). Bahan Ajar Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas-kelas Rendah SD. Padang. IKIP
Sutjihanti, (1995), Psikologi Anak Luar Biasa: DIRJEN Pendidikan Tinggi

Tentang jevuska.com

Diposkan oleh romiariyanto Tuesday, May 3, 2011

Bagi anda yang sering search di google.com dan yang mengamati pasti anda sering menemukan situs jevuska.com.
Setelah anda mengklik situs tersebut kebanyakan dari yang anda dapatkan di situs tersebut tidak nampak sesuai harapan yang anda inginkan. Sebagai contoh ketikkan "cara menggunakan suipack" di google, maka terlihat jevuska.com berada di posisi no 1 search. Setelah diklik maka tidak ada artikel tentang "cara menggunakan suipack" dan di situs tersebut terdapat tulisan Maaf, jika tidak ada artikel mengenai cara menggunakan suipack di delphi di situs ini, silahkan cari cara menggunakan suipack di delphi dengan kata kunci yang lain. Request artikel yang kamu inginkan dengan menghubungi halaman Contact atau mengunjungi RequestArtikel.com. Bagi yang pesan artikel, Anda bisa melihat hasil request artikel di RequestArtikel.com. Terima Kasih. Padahal memang artikel tersebut tidak ada. Banyak sekali yang tertipu dengan situs tersebut. Seperti saya yang sering menemukan situs tersebut, sehingga kalau saya menemukan situs tersebut di google pasti saya tidak akan mengkliknya, karena hampir 100% hanya berupa judul belaka dan tidak ada artikel, kecuali kalau anda mengetikkan search tentang artikel kedokteran mungkin situs jevuska akan mempunyai artikelnya karena situs ini kebanyakan berisi tentang kedokteran. Setelah saya mencari tentang jevuska.com ternyata situs tersebut hanya memberikan judul dan tidak menyediakan artikel. Tujuannya hanya untuk meningkatkan SEO dengan cara yang tidak dibenarkan. Sehingga google menganggap situs ini sebagai junk. Setelah saya mengecek di alexa.com ternyata situs jevuska mempunyai peringkat 6.094. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah








sumber

Disleksia

Diposkan oleh romiariyanto Thursday, April 28, 2011


BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang
Membaca merupakan kebutuhan individu yang amat penting dan menduduki posisi sentral bagi kehidupan manusia di era globalisai. Tanpa membaca manusia akan miskin informasi, pengetahuan, dan tertinggal dari berbagai kemajuan dan perubahan zaman.
Membaca merupakan proses ganda dan simultan, yang mengandung dua proses dan merupakan perpaduan antara proses mental dan fisik. Selama kegiatan membaca berlangsung bukan artikulator saja yang terlibat, melainkan mental psikologis pun turut campur dalam menentukan kualitas dan hasil baca yang dilakukan individu.
Ketidakmampuan membaca pada anak sering digeneralisir sebagai kelemahan intelegensi. Padahal, bisa jadi ia mengalami disleksia. Disleksia atau gangguan berupa kesulitan membaca, menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Hermawan Consulting, pada dasarnya disebabkan kelainan neurologis. Gejalanya, kemampuan membaca si anak berada di bawah kemampuan yang semestinya dengan mempertimbangkan tingkat intelegensi, usia dan pendidikannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Bradford (pendiri Direct Learning, sebuah lembaga pengembangan program untuk Learning Disabilities di Amerika), disleksia lebih banyak diderita pria daripada wanita. Gangguan ini bukanlah bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti kesulitan visual. Ia lebih mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut.
Gangguan ini merupakan gangguan dalam memperlakukan huruf-huruf dan kata-kata misalnya simbol-simbol yang diakibatkan berkurangnya kemampuan mengintegrasikan kebermaknaan bahan tertulis. Problem tersebut tampaknya merefleksikan suatu pola gangguan dasar organisasi neurologis karena sebab biologis atau endogenous (Helen M.Robinson,1968:167).
Kesulitan membaca yang tidak diharapkan (kesulitan membaca pada seseorang yang tidak sesuai dengan kemampuan kognitif orang tersebut atau tidak sesuai dengan usia, tingkat kepandaian dan tingkat pendidikan), selain itu terdapat masalah yang berhubungan dengan fonologik.

Pada anak usia prasekolah, adanya riwayat keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya bunyi dari suatu kata (kesulitan bermain kata-kata yang berirama, kebingungan dalam menghadapi kata-kata yang mirip, kesulitan belajar mengenal huruf) disertai dengan adanya riwayat keluarga yang menderita disleksia, menunjukkan faktor risiko yang bermakna untuk menderita disleksia.
Pada anak usia sekolah biasanya keluhan berupa kurangnya tampilan di sekolah tetapi sering orangtua dan guru tidak menyadari bahwa anak tersebut mengalami kesulitan membaca. Biasanya anak akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di taman kanak-kanak dan tidak belajar membaca pada sekolah dasar. Anak tersebut akan makin tertinggal dalam hal pelajaran sedangkan guru dan orangtua biasanya makin heran mengapa anak dengan tingkat kepandaian yang baik mengalami kesulitan membaca.

I.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Disleksia ?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Disleksia ?
3. Bagaimana ciri-ciri anak yang mengalami Disleksia ?
4. Bagaimana cara mengatasi anak yang mengalami Disleksia ?

I.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan, agar pembaca dapat mengetahui apa itu disleksia, dan mengapa hal itu bisa terjadi. Karena di zaman sekarang ini, anak-anak yang mengalami disleksia makin banyak, dan terkadang sering kita jumpai.

I.4 Manfaat Penulisan
Manfaat bagi penulis ialah agar penulis dapat mengerti dan mengetahui tentang sebab-sebab atau faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi disleksia. Makalah ini juga berguna bagi orang tua yang tidak ingin anaknya mengalami disleksia, serta bagaimana cara orang tua, atau guru mengatasi atau membimbing anak yang mengalami disleksia.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Apa Itu Disleksia ?
Asal istilah disleksia diatributkan pada Kausmaul, yang pada tahun 1877 mengartikan kata aleksia sebagai kebutaan kata (word blindness). Pada tahun 1891 Jules Dejerine, seorang dokter ahli bedah dan patologi klinis, menyajikan data autopsi tentang individu yang mengalami luka penyempitan pembuluh otak dan belahan otak kiri, dan ia mengistilahkan ketakmampuan/kesulitan membaca (reading disabilities), untuk kata kebutaan kata (Reynold & Mann, 1987:489). W.Tringle Morgan, Optalmog berkebangsaan Inggris tahun 1896 memberikan hasil studi kasusnya tentang disleksia yang dimuat dalam Journal Kedokteran Inggris, mengusulkan istilah kebutaan kata bawaan (congenital word blindness) untuk menunjuk konsep dislkesia (Reynold & Mann, 1987:1304; Harre & Lamb, 1984:166).
Disleksia terdiri daripada dua perkataan Yunani yaitu "DYN" bermakna susah, dan "LEXIA" bermakna tulisan. Disleksia bukannya satu penyakit, tetapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh kanak-kanak. Lazimnya, masalah pembelajaran yang dihadapi adalah seperti membaca, menulis, mengeja, dan kemahiran mengira. Oleh itu dyslexia merujuk kepada mereka yang menghadapi masalah untuk membaca dan menulis walaupun mempunyai daya pemikiran yang normal.
Disleksia adalah gangguan akan kemampuan membaca, yaitu kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia, dan pendidikannya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi
setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.
Menurut T. L. Harris dan R. E Hodges (Corsini, 1987:44) disleksia menunjuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran intelegensinya normal, dan keterampilan usia bahasanya sesuai.
Bryan & Brayan sebagaimana dikutip oleh Mercer (1987, 310-311) mentakrifkan disleksia sebagai suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara histories menjukkan perkembangan bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta berkesulitan dalam mempelajari sistem repsentasional misalnya berkenaan dengan waktu, arah dan masa.
Tetapi yang paling penting diingat adalah disleksia tidak ada kaitannya dengan inteligensia seseorang. Psikolog dari Perkumpulan Disleksia Singapura, Kevin Smith, menjelaskan disleksia pada anak tidak ada hubungannya dengan tingkat inteligensia, bahkan beberapa jenius dunia, seperti Albert Einstein, Galileo Galilei, Thomas Alfa Edison, Beethoven, Tom Cruise, Whoopi Goldberg, pun mengalami disleksia pada masa kecilnya. Sebuah majalah terbitan Amerika Serikat menerbitkan laporan tentang dugaan gangguan disleksia yang dialami Presiden AS, George W Bush, menjelang pemilihan umum kemarin. Disebutkan, Bush selama masa kampanye sering salah menyebutkan kata-kata. Misalnya, ia ingin menyatakan AS sebagai negara peacemaker (pencipta perdamaian), namun ia mengucapkan pacemaker (alat pacu jantung). Kata tariffs and barriers (bea dan cukai), diucapkan terriers (jenis anjing terier) untuk kata barriers. Selain itu, ada beberapa kata lagi yang diucapkan salah, dan pengucapan kata-kata dan kalimat yang salah tadi dilakukan secara konsisten, sehingga bisa diindikasikan ia.
menderita disleksia.
Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat. Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.

2. Faktor-faktor Penyebab Disleksia
Disleksia adalah gangguan akan kemampuan membaca, yaitu kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia, dan pendidikannya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.
Disleksia disebabkan adanya masalah di bagian otak, yang mengatur proses belajar. Faktor genetik atau keturunan juga berperan. Misalnya, jika seorang ayah susah membaca atau mengalami disleksia, bukan tidak mungkin si anak akan mengalami kesulitan serupa.
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia ini, penelitian-penelitian menyimpulkan adanya 3 faktor penyebab, yaitu;
• Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal.

• Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.

• Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata.
Diambil dari buku “ Pendidikan Bagi Anak Disleksia “ Debdikbud. Sebab terjadinya disleksia antara lain :
1. Gangguan persepsi penglihatan
Kinsbourmen dan Warrington ( Williams, 1981:122) menyatakan bahwa anak disleksia mungkin memiliki kesulitan dalam mengfiksasi rangsangan, sehingga banyak bagian kata atau kalimat tak terpersepsi secara baik. Selain itu pada anak disleksia juga mengalami kesulitan dalam mengikuti urutan dari kiri ke kanan sehingga cendrung melihat kata-kata dengan cara sembarangan. Anak disleksia juga tak mampuy mengenal aspek-aspek visual tentang huruf atau kata, namun ia akan mampu berbuat jika mengangkat tangannya untuk mendekatkan bahan tertulis.
2. Kurang dominannya belahan otak
Otak dibedakan menjadi dua belahan yaitu hemisfer kiri dan kanan. Bagi kebanyakan orang, hemisfer kiri lebih dominan dari pada kanan. Pada kasus disleksia, menunjukkan adanya gangguan atau kekurangan cerebral atau dominasi kemisfer. Jadi, satu paroan otak gagal mengambil kontrol lebih banyak pada fungsi-fungsi bahasa.
3. Difungsi minimal otak
Anak disleksia banyak yang mengalami gangguan saraf otak dan atau cidera otak. Namun banyak kasus para neurolog tidak mampu menemukan suatu gangguan neurologis, karena kesimpulan disfungsi minimal otak adalah kadang-kadang dipaksakan ( Kirk, Kliebhan & Lerner, 1978:17 ).
4. Gangguan keterampilan perseptual-motor
Dalam kegiatan membaca diperlukan gerak tertentu. Gerak ini muncul akibat adanya stimulus berupa huruf, kata, dan kalimat serta keinginan si pembaca untuk memberikan sambutan terhadap stimulus yang ada. Gerak yang saat membaca berpusat pada mata bagi individu awas dan berpusat pada jari bagi individu tak awas. Gerak mata saat membca ditandai oleh gerakan fiksasi, gerakan interfiksasi, gerakan regresi dan mata gerak (jalan) kembali. Adapun waktu yang diperlukan mempunyai dua elemen yaitu waktu fikasasi dan waktu gerak ( Dechant & Smith, 1977:122-123). Fiksasi yaitu berhentinya mata sejenak sehingga membuatnya dapat mereaksi stimulus yang ada.
5. Gangguan indokrin dan keseimbangan kimiawi
secara umum kesehatan yang baik akan menopang membaca yang baik, dan kesehatan yang jelek sering diasosiasikan dengan gangguan membaca. Park dan Schneider mengatakan bahwa ada sejumlah penelitian memperlakukan pengaruh disfungsi kelenjer terutama tidak berfungsi kelenjer dibwah otak , kekurangan vitamin, gangguan kelenjer indokrin, gangguan saraf, malnutrisi, dan problema peredaran nutrisi, dan perubahan system metabolisme terhadap kesulitan membaca ( Dechant, 1982:85 ). Studi lain menekankan efek adenoid, penularan atau peradangan amandel, gigi jarang, alergi, asma, tuberculosis, rachitis, demam encok dan sakit berkepanjangan terhadap kesulitan membaca ( Dechant, 1982:85 ).
6. Pengalaman masa kecil tak menyenangkan ( tarumatis)
Menurut Dechant (1982:30), pengalaman kehidupan khusus seseorang merupakan penentuan umum hakikat interprestasi yang akan diberikan pada suatu peristiwa atau kata. Individu adalah gudang pengalaman masa lampau yang menjadi basis penginterprestasian pengalaman atau rangsangan-rangsangan baru.
7. Kurangnya pelayanan kesehatan
Dalam pelayanan kesehjatan paling tidak konsep yang tercakup di dalamnya, yaitu (a) pelayanan kesehatan saat janin masih dalam kandungan, (b) pelayanan kesehatan saat bayi lahir sampai usia enam tahun, dan (c) pelayanan kesehatan usia sekolah sampai dewasa.
8. Kelahiran prematur
Berat kelahiran rendah ditemukan sebagai faktor beresiko tinggi pada berbagai gangguan perkembangan. S. Cohen ( Kavanagh & Truss, 1988:91-92 ) menekankan akibat masalah kelahiran prematur mencakup: gangguan intelegensi, perkembangan motorik, perilaku dan juga kesulitan belajar termasuk kesulitan belajar membaca.
9. Penyakit masa kanak-kanak
Penyakit-penyakit yang dialami oleh anak-anak selama tahun-tahun pertama atau priode-priode kehidupan kritis cukup memberikan efek terhadap rendahnya kesehatan anak. Bila penyakit yang dialami oleh anak di masa ini berlangsung lama, kronis, dan penyakitnya amat berbahaya bagi perkembangan anak di masa-masa yang akan datang, maka diasumsikan anak akan mengalami gangguan perkembangan, termasuk gangguan dalam belajar membaca.
10. Malnutrisi
Sekalipun belum banyak penelitian bahkan boleh dikata tidak ada penelitian yang mengkaji secara khusus akibat malnutrisi terhadap disleksia, namun secara logis bisa diyakini bahwa kekurangan gizi atau malnutrisi diduga cukup memberikan sumbangan berarti terhadap disleksia.
11. Kekurangan vitamin
Individu yang mengalami kekurangan vitamin A bisa menjadi aviataminosis A. ia lama kelamaan bisa mengalami tunanetra. Individu yang kekurangan vitamin C mudah terserang penyakit flu. Penyakit ini bila dibiarkan akan mengakibatkan radang pada hidung atau tenggorokkan. Individu yang kekurangan vitamin B atau B kompleks, akan mudah terserang penyakit, mudah lelah, perkembangan fisik terganggu dan konsentrasi berfikir kurang. Bila perkembangan fisik yang terganggu tersebut mengenai perkembangan organ otak dan pematangan fungsi-fungsi organ otak maka dapat menyebabkan individu mengalami disleksia.
12. Infeksi saat ibu hamil
Infeksi saat ibu hamil beresiko tinggi terhadap kelahiran tak normal atau melahirkan anak berkelainan. Infeksi yang dialami ibu masa mengandung mislanya akibat rubella, sifilis, tuberkulosis dapat mengakibatkan janin luka otak. Bila ini terjadi, maka bayi yang dilahirkan mungkin akan mengalami kesulitan belajar membaca saat waktunya tiba.
13. Kelainan pewarisan
Para ahli menyepakati bahwa kesulitan membaca banyak ditandai oleh faktor genetika dan faktor pewarisan. Sebagaimana dijelaskan oleh Hallgren dan Herrman bahwa kesulitan membaca berbasis dari keturunan, beberapa anak kesulitan membaca berat kadang-kadang ditemukan dari generasi atau dari keluarga yang sama. Studi lain terhadap anak kembar dan saudara kandung mengindikasikan bahwa kesulitan membaca ada dalam keluarga mengalami disleksia ( Kirk, Kleibhan dan Learner, 1978:19 ).
14. Efek gangguan emosional
Hubungan antara salahsuai kepribadian atau emosional dengan membca belajar sebagai berikut: (a) salahsuai menyebabkan kesulitan membaca, (b) kesulitan membaca menyebabkan salahsuai, (c) salahsuai dan kesulitan membaca memiliki suatu sebab umum, (d) hubungan bersifat sirkuler, salahsuai menyebabkan kesulitan membaca dan kesulitan memvaca lebih lanjut meningkatkan salahsuai; atau kesulitan membaca menyebkan salahsuai yang berikutnya meningkatkan kesulitan membaca ( Dechant, 1982:80; Dechant & Smith, 1977:196), (e) salahsuai dan kesulitan membaca masing-masing memiliki sebab yang berbeda ( Dechant & Smith, 1977:196 ).
15. Konsep diri rendah
Preyor menyatakan bahwa perubahan suatu konsep diri anak berkesulitan membaca ( disleksia ) disokong oleh perasaannya tentang dirinya sendiri adalah mungkin langkah pertama menuju perbaikan problem akademik ( Ekwall & Shanker, 1988:18 ).
16. Perkembangan bahasa lambat
Perkembangan bahasa lambat tersebut sebagai akibat perkembangan dan kematangan fungsi otak pusat memori dan bahasa mengalami perkembangan yang lambat, tak integratifnya belahan otal kanan dan kiri sehingga jadi disleksia.
17. Perkembangan bahasa terhenti
Perkembangan bahasa terhenti menunjuk pada perkembangan bahasa menyimpang. Istilah ini digunakan membedakan dengan istilah perkembangan bahasa lambat.


3. Ciri-ciri Anak Disleksia
Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu. Di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya "hal" menjadi "lah" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi "Kursi duduk di atas kucing."
9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.

Diambil dari Tabloid Nova, ciri-ciri anak disleksia antara lain:
- Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
- Kesulitan merangkai huruf-huruf dan kadang ada huruf yang hilang.
- Sulit membedakan huruf. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk seperti b - d, u - n, m - n.
- Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Misalnya, sulit membeda - kan huruf-huruf pada kata 'soto' dan 'sate'.
- Membaca satu kata dengan benar di satu halaman, tapi salah di halaman lainnya.
- Kesulitan memahami apa yang dibaca.
- Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misalnya, 'hal' menja- di 'lah.
- Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Tulisannya tidak stabil, kadang naik, kadang turun.

Anak baru bisa didiagnosis disleksia atau tidak saat anak di usia SD, yaitu sekitar 7-8 tahun. Karena di usia balita seorang anak belum ditargetkan untuk bisa membaca. "Jadi, paling tidak ada pengalaman satu atau dua tahun membaca, setelah itu baru dilihat apakah ada kesulitan, baru lalu didiagnosis disleksia,"


4. Mengatasi Anak Yang Mengalami Disleksia
Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat.”
Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:
• Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
• Membangun rasa percaya diri Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan. Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis. Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia. Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya. Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
• Terapi
Menurut Kevin, saat anak diketahui mengalami gangguan disleksia, patut diberikan terapi sedini mungkin, seperti terapi mengulang dengan penuh kesabaran dan ketekunan untuk membantu si anak mengatasi kesulitannya. Anak-anak yang mengalami disleksia sering merasakan tidak dapat melakukan atau menghasilkan yang terbaik seperti yang mereka inginkan. Oleh karena itu mereka tidak bisa diberikan porsi yang sama dengan anak-anak lainnya.
Umumnya, anak-anak penderita disleksia sering dicap sebagai malas, bebal, bodoh, dan sebagainya. Padahal mereka adalah anak-anak pintar, jika diberi peluang dan mendapat bimbingan yang tepat. Apa yang bisa dilakukan untuk menolong anak-anak yang menderita gangguan disleksia ini? Bagi orangtua,
hal pertama yang perlu ditanamkan adalah menyayangi mereka, sama seperti anak-anak yang lain, baru kemudian membimbing sesuai dengan kesulitan yang dihadapi.
Orangtua dapat membantu menyiapkan jadwal harian agar anak-anak mengetahui apa yang harus dilakukan. Selain itu, dapat pula membantu menyiapkan alat sekolah dan perlengkapan sehari-hari lainnya. Bahkan jika di rumah ada perangkat komputer, ada baiknya anak dilatih menulis dan membaca dengan menggunakan komputer karena ada fasilitas pengecek ejaan (spelling checker).
Sementara guru-guru di sekolah bisa melakukan beberapa cara untuk membantu anak-anak ini, seperti menggunakan alat tulis berbagai warna untuk menulis kata yang penting, memberikan waktu istirahat selama 10 menit dari setiap 20 menit belajar membaca, memberikan waktu lebih saat menulis dan membaca.
Guru juga dapat memberikan soal atau tulisan dengan ukuran huruf yang lebih besar agar terlihat jelas dan dapat menarik penglihatan mereka. Intinya, anak-anak penderita disleksia perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya karena mereka juga memiliki potensi yang besar. Dan anak-anak itu tidak boleh diberikan cap negatif.
Anak-anak tertentu, khususnya mereka yang disleksia, tidak akan pernah mampu membaca dengan kecepatan tinggi dan akan selalu mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan mengeja yang sesuai usia. Disleksia dipandang sebagai gangguan biologis yang dimanifestasikan dengan kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja walaupun diberi pengajaran konvensional dan memiliki kecerdasan yang memadai (Snowling, 1987).


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kesulitan pokok yang dialami oleh anak disleksia terletak pada adanya kesulitan membaca. Kesulitan membaca yang mereka alami bervariasi, ada yang ringan, ada yang sedang, dan ada juga ynag berat. Berat ringannya kesulitan membaca yang dialami oleh anak disleksia amat menentukan tingkat tuntutan pengajaran membaca mereka.

Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritiknya, agar dikemudian hari makalah ini dapat lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

M. Shodig. PENDIDIKAN BAGI ANAK DISLEKSIA. Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
http://www.balita-anda.com/balita_395_DISLEKSIA_pada_anak.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Dyslexia
http://www.kikil.com/archive/index.php/t-12069.html
http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia.com/msg02653.html
http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Bahasa_dan_Membaca.php
http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=13992