BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Membaca merupakan kebutuhan individu yang amat penting dan menduduki posisi sentral bagi kehidupan manusia di era globalisai. Tanpa membaca manusia akan miskin informasi, pengetahuan, dan tertinggal dari berbagai kemajuan dan perubahan zaman.
Membaca merupakan proses ganda dan simultan, yang mengandung dua proses dan merupakan perpaduan antara proses mental dan fisik. Selama kegiatan membaca berlangsung bukan artikulator saja yang terlibat, melainkan mental psikologis pun turut campur dalam menentukan kualitas dan hasil baca yang dilakukan individu.
Ketidakmampuan membaca pada anak sering digeneralisir sebagai kelemahan intelegensi. Padahal, bisa jadi ia mengalami disleksia. Disleksia atau gangguan berupa kesulitan membaca, menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Hermawan Consulting, pada dasarnya disebabkan kelainan neurologis. Gejalanya, kemampuan membaca si anak berada di bawah kemampuan yang semestinya dengan mempertimbangkan tingkat intelegensi, usia dan pendidikannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Bradford (pendiri Direct Learning, sebuah lembaga pengembangan program untuk Learning Disabilities di Amerika), disleksia lebih banyak diderita pria daripada wanita. Gangguan ini bukanlah bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti kesulitan visual. Ia lebih mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut.
Gangguan ini merupakan gangguan dalam memperlakukan huruf-huruf dan kata-kata misalnya simbol-simbol yang diakibatkan berkurangnya kemampuan mengintegrasikan kebermaknaan bahan tertulis. Problem tersebut tampaknya merefleksikan suatu pola gangguan dasar organisasi neurologis karena sebab biologis atau endogenous (Helen M.Robinson,1968:167).
Kesulitan membaca yang tidak diharapkan (kesulitan membaca pada seseorang yang tidak sesuai dengan kemampuan kognitif orang tersebut atau tidak sesuai dengan usia, tingkat kepandaian dan tingkat pendidikan), selain itu terdapat masalah yang berhubungan dengan fonologik.
Pada anak usia prasekolah, adanya riwayat keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya bunyi dari suatu kata (kesulitan bermain kata-kata yang berirama, kebingungan dalam menghadapi kata-kata yang mirip, kesulitan belajar mengenal huruf) disertai dengan adanya riwayat keluarga yang menderita disleksia, menunjukkan faktor risiko yang bermakna untuk menderita disleksia.
Pada anak usia sekolah biasanya keluhan berupa kurangnya tampilan di sekolah tetapi sering orangtua dan guru tidak menyadari bahwa anak tersebut mengalami kesulitan membaca. Biasanya anak akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di taman kanak-kanak dan tidak belajar membaca pada sekolah dasar. Anak tersebut akan makin tertinggal dalam hal pelajaran sedangkan guru dan orangtua biasanya makin heran mengapa anak dengan tingkat kepandaian yang baik mengalami kesulitan membaca.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Disleksia ?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Disleksia ?
3. Bagaimana ciri-ciri anak yang mengalami Disleksia ?
4. Bagaimana cara mengatasi anak yang mengalami Disleksia ?
I.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan, agar pembaca dapat mengetahui apa itu disleksia, dan mengapa hal itu bisa terjadi. Karena di zaman sekarang ini, anak-anak yang mengalami disleksia makin banyak, dan terkadang sering kita jumpai.
I.4 Manfaat Penulisan
Manfaat bagi penulis ialah agar penulis dapat mengerti dan mengetahui tentang sebab-sebab atau faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi disleksia. Makalah ini juga berguna bagi orang tua yang tidak ingin anaknya mengalami disleksia, serta bagaimana cara orang tua, atau guru mengatasi atau membimbing anak yang mengalami disleksia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Apa Itu Disleksia ?
Asal istilah disleksia diatributkan pada Kausmaul, yang pada tahun 1877 mengartikan kata aleksia sebagai kebutaan kata (word blindness). Pada tahun 1891 Jules Dejerine, seorang dokter ahli bedah dan patologi klinis, menyajikan data autopsi tentang individu yang mengalami luka penyempitan pembuluh otak dan belahan otak kiri, dan ia mengistilahkan ketakmampuan/kesulitan membaca (reading disabilities), untuk kata kebutaan kata (Reynold & Mann, 1987:489). W.Tringle Morgan, Optalmog berkebangsaan Inggris tahun 1896 memberikan hasil studi kasusnya tentang disleksia yang dimuat dalam Journal Kedokteran Inggris, mengusulkan istilah kebutaan kata bawaan (congenital word blindness) untuk menunjuk konsep dislkesia (Reynold & Mann, 1987:1304; Harre & Lamb, 1984:166).
Disleksia terdiri daripada dua perkataan Yunani yaitu "DYN" bermakna susah, dan "LEXIA" bermakna tulisan. Disleksia bukannya satu penyakit, tetapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh kanak-kanak. Lazimnya, masalah pembelajaran yang dihadapi adalah seperti membaca, menulis, mengeja, dan kemahiran mengira. Oleh itu dyslexia merujuk kepada mereka yang menghadapi masalah untuk membaca dan menulis walaupun mempunyai daya pemikiran yang normal.
Disleksia adalah gangguan akan kemampuan membaca, yaitu kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia, dan pendidikannya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi
setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.
Menurut T. L. Harris dan R. E Hodges (Corsini, 1987:44) disleksia menunjuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran intelegensinya normal, dan keterampilan usia bahasanya sesuai.
Bryan & Brayan sebagaimana dikutip oleh Mercer (1987, 310-311) mentakrifkan disleksia sebagai suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara histories menjukkan perkembangan bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta berkesulitan dalam mempelajari sistem repsentasional misalnya berkenaan dengan waktu, arah dan masa.
Tetapi yang paling penting diingat adalah disleksia tidak ada kaitannya dengan inteligensia seseorang. Psikolog dari Perkumpulan Disleksia Singapura, Kevin Smith, menjelaskan disleksia pada anak tidak ada hubungannya dengan tingkat inteligensia, bahkan beberapa jenius dunia, seperti Albert Einstein, Galileo Galilei, Thomas Alfa Edison, Beethoven, Tom Cruise, Whoopi Goldberg, pun mengalami disleksia pada masa kecilnya. Sebuah majalah terbitan Amerika Serikat menerbitkan laporan tentang dugaan gangguan disleksia yang dialami Presiden AS, George W Bush, menjelang pemilihan umum kemarin. Disebutkan, Bush selama masa kampanye sering salah menyebutkan kata-kata. Misalnya, ia ingin menyatakan AS sebagai negara peacemaker (pencipta perdamaian), namun ia mengucapkan pacemaker (alat pacu jantung). Kata tariffs and barriers (bea dan cukai), diucapkan terriers (jenis anjing terier) untuk kata barriers. Selain itu, ada beberapa kata lagi yang diucapkan salah, dan pengucapan kata-kata dan kalimat yang salah tadi dilakukan secara konsisten, sehingga bisa diindikasikan ia.
menderita disleksia.
Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat. Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.
2. Faktor-faktor Penyebab Disleksia
Disleksia adalah gangguan akan kemampuan membaca, yaitu kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia, dan pendidikannya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.
Disleksia disebabkan adanya masalah di bagian otak, yang mengatur proses belajar. Faktor genetik atau keturunan juga berperan. Misalnya, jika seorang ayah susah membaca atau mengalami disleksia, bukan tidak mungkin si anak akan mengalami kesulitan serupa.
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia ini, penelitian-penelitian menyimpulkan adanya 3 faktor penyebab, yaitu;
• Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal.
• Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.
• Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata.
Diambil dari buku “ Pendidikan Bagi Anak Disleksia “ Debdikbud. Sebab terjadinya disleksia antara lain :
1. Gangguan persepsi penglihatan
Kinsbourmen dan Warrington ( Williams, 1981:122) menyatakan bahwa anak disleksia mungkin memiliki kesulitan dalam mengfiksasi rangsangan, sehingga banyak bagian kata atau kalimat tak terpersepsi secara baik. Selain itu pada anak disleksia juga mengalami kesulitan dalam mengikuti urutan dari kiri ke kanan sehingga cendrung melihat kata-kata dengan cara sembarangan. Anak disleksia juga tak mampuy mengenal aspek-aspek visual tentang huruf atau kata, namun ia akan mampu berbuat jika mengangkat tangannya untuk mendekatkan bahan tertulis.
2. Kurang dominannya belahan otak
Otak dibedakan menjadi dua belahan yaitu hemisfer kiri dan kanan. Bagi kebanyakan orang, hemisfer kiri lebih dominan dari pada kanan. Pada kasus disleksia, menunjukkan adanya gangguan atau kekurangan cerebral atau dominasi kemisfer. Jadi, satu paroan otak gagal mengambil kontrol lebih banyak pada fungsi-fungsi bahasa.
3. Difungsi minimal otak
Anak disleksia banyak yang mengalami gangguan saraf otak dan atau cidera otak. Namun banyak kasus para neurolog tidak mampu menemukan suatu gangguan neurologis, karena kesimpulan disfungsi minimal otak adalah kadang-kadang dipaksakan ( Kirk, Kliebhan & Lerner, 1978:17 ).
4. Gangguan keterampilan perseptual-motor
Dalam kegiatan membaca diperlukan gerak tertentu. Gerak ini muncul akibat adanya stimulus berupa huruf, kata, dan kalimat serta keinginan si pembaca untuk memberikan sambutan terhadap stimulus yang ada. Gerak yang saat membaca berpusat pada mata bagi individu awas dan berpusat pada jari bagi individu tak awas. Gerak mata saat membca ditandai oleh gerakan fiksasi, gerakan interfiksasi, gerakan regresi dan mata gerak (jalan) kembali. Adapun waktu yang diperlukan mempunyai dua elemen yaitu waktu fikasasi dan waktu gerak ( Dechant & Smith, 1977:122-123). Fiksasi yaitu berhentinya mata sejenak sehingga membuatnya dapat mereaksi stimulus yang ada.
5. Gangguan indokrin dan keseimbangan kimiawi
secara umum kesehatan yang baik akan menopang membaca yang baik, dan kesehatan yang jelek sering diasosiasikan dengan gangguan membaca. Park dan Schneider mengatakan bahwa ada sejumlah penelitian memperlakukan pengaruh disfungsi kelenjer terutama tidak berfungsi kelenjer dibwah otak , kekurangan vitamin, gangguan kelenjer indokrin, gangguan saraf, malnutrisi, dan problema peredaran nutrisi, dan perubahan system metabolisme terhadap kesulitan membaca ( Dechant, 1982:85 ). Studi lain menekankan efek adenoid, penularan atau peradangan amandel, gigi jarang, alergi, asma, tuberculosis, rachitis, demam encok dan sakit berkepanjangan terhadap kesulitan membaca ( Dechant, 1982:85 ).
6. Pengalaman masa kecil tak menyenangkan ( tarumatis)
Menurut Dechant (1982:30), pengalaman kehidupan khusus seseorang merupakan penentuan umum hakikat interprestasi yang akan diberikan pada suatu peristiwa atau kata. Individu adalah gudang pengalaman masa lampau yang menjadi basis penginterprestasian pengalaman atau rangsangan-rangsangan baru.
7. Kurangnya pelayanan kesehatan
Dalam pelayanan kesehjatan paling tidak konsep yang tercakup di dalamnya, yaitu (a) pelayanan kesehatan saat janin masih dalam kandungan, (b) pelayanan kesehatan saat bayi lahir sampai usia enam tahun, dan (c) pelayanan kesehatan usia sekolah sampai dewasa.
8. Kelahiran prematur
Berat kelahiran rendah ditemukan sebagai faktor beresiko tinggi pada berbagai gangguan perkembangan. S. Cohen ( Kavanagh & Truss, 1988:91-92 ) menekankan akibat masalah kelahiran prematur mencakup: gangguan intelegensi, perkembangan motorik, perilaku dan juga kesulitan belajar termasuk kesulitan belajar membaca.
9. Penyakit masa kanak-kanak
Penyakit-penyakit yang dialami oleh anak-anak selama tahun-tahun pertama atau priode-priode kehidupan kritis cukup memberikan efek terhadap rendahnya kesehatan anak. Bila penyakit yang dialami oleh anak di masa ini berlangsung lama, kronis, dan penyakitnya amat berbahaya bagi perkembangan anak di masa-masa yang akan datang, maka diasumsikan anak akan mengalami gangguan perkembangan, termasuk gangguan dalam belajar membaca.
10. Malnutrisi
Sekalipun belum banyak penelitian bahkan boleh dikata tidak ada penelitian yang mengkaji secara khusus akibat malnutrisi terhadap disleksia, namun secara logis bisa diyakini bahwa kekurangan gizi atau malnutrisi diduga cukup memberikan sumbangan berarti terhadap disleksia.
11. Kekurangan vitamin
Individu yang mengalami kekurangan vitamin A bisa menjadi aviataminosis A. ia lama kelamaan bisa mengalami tunanetra. Individu yang kekurangan vitamin C mudah terserang penyakit flu. Penyakit ini bila dibiarkan akan mengakibatkan radang pada hidung atau tenggorokkan. Individu yang kekurangan vitamin B atau B kompleks, akan mudah terserang penyakit, mudah lelah, perkembangan fisik terganggu dan konsentrasi berfikir kurang. Bila perkembangan fisik yang terganggu tersebut mengenai perkembangan organ otak dan pematangan fungsi-fungsi organ otak maka dapat menyebabkan individu mengalami disleksia.
12. Infeksi saat ibu hamil
Infeksi saat ibu hamil beresiko tinggi terhadap kelahiran tak normal atau melahirkan anak berkelainan. Infeksi yang dialami ibu masa mengandung mislanya akibat rubella, sifilis, tuberkulosis dapat mengakibatkan janin luka otak. Bila ini terjadi, maka bayi yang dilahirkan mungkin akan mengalami kesulitan belajar membaca saat waktunya tiba.
13. Kelainan pewarisan
Para ahli menyepakati bahwa kesulitan membaca banyak ditandai oleh faktor genetika dan faktor pewarisan. Sebagaimana dijelaskan oleh Hallgren dan Herrman bahwa kesulitan membaca berbasis dari keturunan, beberapa anak kesulitan membaca berat kadang-kadang ditemukan dari generasi atau dari keluarga yang sama. Studi lain terhadap anak kembar dan saudara kandung mengindikasikan bahwa kesulitan membaca ada dalam keluarga mengalami disleksia ( Kirk, Kleibhan dan Learner, 1978:19 ).
14. Efek gangguan emosional
Hubungan antara salahsuai kepribadian atau emosional dengan membca belajar sebagai berikut: (a) salahsuai menyebabkan kesulitan membaca, (b) kesulitan membaca menyebabkan salahsuai, (c) salahsuai dan kesulitan membaca memiliki suatu sebab umum, (d) hubungan bersifat sirkuler, salahsuai menyebabkan kesulitan membaca dan kesulitan memvaca lebih lanjut meningkatkan salahsuai; atau kesulitan membaca menyebkan salahsuai yang berikutnya meningkatkan kesulitan membaca ( Dechant, 1982:80; Dechant & Smith, 1977:196), (e) salahsuai dan kesulitan membaca masing-masing memiliki sebab yang berbeda ( Dechant & Smith, 1977:196 ).
15. Konsep diri rendah
Preyor menyatakan bahwa perubahan suatu konsep diri anak berkesulitan membaca ( disleksia ) disokong oleh perasaannya tentang dirinya sendiri adalah mungkin langkah pertama menuju perbaikan problem akademik ( Ekwall & Shanker, 1988:18 ).
16. Perkembangan bahasa lambat
Perkembangan bahasa lambat tersebut sebagai akibat perkembangan dan kematangan fungsi otak pusat memori dan bahasa mengalami perkembangan yang lambat, tak integratifnya belahan otal kanan dan kiri sehingga jadi disleksia.
17. Perkembangan bahasa terhenti
Perkembangan bahasa terhenti menunjuk pada perkembangan bahasa menyimpang. Istilah ini digunakan membedakan dengan istilah perkembangan bahasa lambat.
3. Ciri-ciri Anak Disleksia
Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu. Di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya "hal" menjadi "lah" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi "Kursi duduk di atas kucing."
9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.
Diambil dari Tabloid Nova, ciri-ciri anak disleksia antara lain:
- Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
- Kesulitan merangkai huruf-huruf dan kadang ada huruf yang hilang.
- Sulit membedakan huruf. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk seperti b - d, u - n, m - n.
- Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Misalnya, sulit membeda - kan huruf-huruf pada kata 'soto' dan 'sate'.
- Membaca satu kata dengan benar di satu halaman, tapi salah di halaman lainnya.
- Kesulitan memahami apa yang dibaca.
- Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misalnya, 'hal' menja- di 'lah.
- Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Tulisannya tidak stabil, kadang naik, kadang turun.
Anak baru bisa didiagnosis disleksia atau tidak saat anak di usia SD, yaitu sekitar 7-8 tahun. Karena di usia balita seorang anak belum ditargetkan untuk bisa membaca. "Jadi, paling tidak ada pengalaman satu atau dua tahun membaca, setelah itu baru dilihat apakah ada kesulitan, baru lalu didiagnosis disleksia,"
4. Mengatasi Anak Yang Mengalami Disleksia
Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat.”
Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:
• Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
• Membangun rasa percaya diri Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan. Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis. Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia. Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya. Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
• Terapi
Menurut Kevin, saat anak diketahui mengalami gangguan disleksia, patut diberikan terapi sedini mungkin, seperti terapi mengulang dengan penuh kesabaran dan ketekunan untuk membantu si anak mengatasi kesulitannya. Anak-anak yang mengalami disleksia sering merasakan tidak dapat melakukan atau menghasilkan yang terbaik seperti yang mereka inginkan. Oleh karena itu mereka tidak bisa diberikan porsi yang sama dengan anak-anak lainnya.
Umumnya, anak-anak penderita disleksia sering dicap sebagai malas, bebal, bodoh, dan sebagainya. Padahal mereka adalah anak-anak pintar, jika diberi peluang dan mendapat bimbingan yang tepat. Apa yang bisa dilakukan untuk menolong anak-anak yang menderita gangguan disleksia ini? Bagi orangtua,
hal pertama yang perlu ditanamkan adalah menyayangi mereka, sama seperti anak-anak yang lain, baru kemudian membimbing sesuai dengan kesulitan yang dihadapi.
Orangtua dapat membantu menyiapkan jadwal harian agar anak-anak mengetahui apa yang harus dilakukan. Selain itu, dapat pula membantu menyiapkan alat sekolah dan perlengkapan sehari-hari lainnya. Bahkan jika di rumah ada perangkat komputer, ada baiknya anak dilatih menulis dan membaca dengan menggunakan komputer karena ada fasilitas pengecek ejaan (spelling checker).
Sementara guru-guru di sekolah bisa melakukan beberapa cara untuk membantu anak-anak ini, seperti menggunakan alat tulis berbagai warna untuk menulis kata yang penting, memberikan waktu istirahat selama 10 menit dari setiap 20 menit belajar membaca, memberikan waktu lebih saat menulis dan membaca.
Guru juga dapat memberikan soal atau tulisan dengan ukuran huruf yang lebih besar agar terlihat jelas dan dapat menarik penglihatan mereka. Intinya, anak-anak penderita disleksia perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya karena mereka juga memiliki potensi yang besar. Dan anak-anak itu tidak boleh diberikan cap negatif.
Anak-anak tertentu, khususnya mereka yang disleksia, tidak akan pernah mampu membaca dengan kecepatan tinggi dan akan selalu mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan mengeja yang sesuai usia. Disleksia dipandang sebagai gangguan biologis yang dimanifestasikan dengan kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja walaupun diberi pengajaran konvensional dan memiliki kecerdasan yang memadai (Snowling, 1987).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesulitan pokok yang dialami oleh anak disleksia terletak pada adanya kesulitan membaca. Kesulitan membaca yang mereka alami bervariasi, ada yang ringan, ada yang sedang, dan ada juga ynag berat. Berat ringannya kesulitan membaca yang dialami oleh anak disleksia amat menentukan tingkat tuntutan pengajaran membaca mereka.
Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritiknya, agar dikemudian hari makalah ini dapat lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
M. Shodig. PENDIDIKAN BAGI ANAK DISLEKSIA. Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
http://www.balita-anda.com/balita_395_DISLEKSIA_pada_anak.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Dyslexia
http://www.kikil.com/archive/index.php/t-12069.html
http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia.com/msg02653.html
http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Bahasa_dan_Membaca.php
http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=13992
:X thx for the information.. :-* it helps a lot.. ;))
sangat berharga.. thanks banget ya