Oleh : Marlina, S.Pd. M.Si
Pendahuluan
Ada banyak kasus dimana orang (guru, dosen, mahasiswa, dan sebagainya) mengalami scientific phobia manakala harus membuat sebuah karya ilmiah untuk suatu tugas atau naik pangkat. Bahkan sebagian dari mereka akan merasa lebih senang bila tugas tersebut dapat diganti dengan tugas lain, selain menulis. Indikasi ini cukup jelas, mereka mau menulis meskipun terpaksa. Akhirnya tulisan dibuat sebagai karya ritual tanpa makna, sehingga aktivitas menulis karya ilmiah dirasa berat dan menyiksa.
Hasil kerja tanpa penghayatan tersebut akan terlihat dengan nyata, ketika karya yang sepotong-potong (baca : bab demi bab) diserahkan kepada dosen pembimbing. Maka seiring dengan itu meluncurlah doa ritual yang sudah populer dikalangan mahasiswa yang berbunyi : “semoga disetujui…… semoga diterima!”. Pernyataan tersebut kedengarannya sangat wajar. Memang wajar untuk menyatakan secara implisit tentang ketidakyakinan akan tulisan sendiri. Mereka mengkonsultasikan tulisan hanya untuk mendapatkan persetujuan pembimbing. Bahkan dalam proses pembimbingan kesan yang timbul adalah sah tidaknya karya tulis yang diajukan merupakan anugerah pembimbing, bukan hasil pemikiran dan penilaian bersama. Dalam hal ini mahasiswa seolah-olah berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dimana dosen memiliki otoritas penuh sebagai sang legitimator (?).
Penyebabnya sangat sederhana tetapi cukup mendasar. Pertama, belum membudayanya tradisi menulis karya ilmiah di kalangan mahasiswa. Kedua, menulis karya ilmiah hanya merupakan tuntutan akademik belum merupakan kebiasaan yang menyenangkan. Hasil sudah dapat ditebak, ketika harus menulis maka mereka akan mengalami kesulitan dan tidak tahu tentang apa yang harus ditulis dan bagaimana menuliskannya. Ini inti persoalannya.
Permasalahan tersebut bukan berarti tidak dapat diatasi. Secara prinsip sebenarnya tak ada yang istimewa ketika harus membuat karya tulis ilmiah, bila kita bicara dalam term ilmiah. Sebab penyakit scientific phobia sebenarnya lebih mengisyaratkan hambatan psikologis daripada problem teknis. Semuanya hanya soal kebiasaan, kemauan belajar, dan cara memandang persoalan, sehingga tidak perlu beranggapan bahwa membuat karya tulis ilmiah hanya hak prerogatif segelintir orang saja. Pada galibnya mereka dapat menguji karya sendiri sebelum diajukan sebelum mendapatkan persetujuan. Implikasi dari itu semua adalah dalam masa-masa membuat karya tulis ilmiah, tak perlu ada yang mengalami scientific phobia. Tak perlu ada yang merasa lebih hebat. Tak perlu ada yang merasa lebih bodoh, merasa tidak berharga, merasa tersiksa dan tak perlu lainnya.
Seharusnya masing-masing pihak yang berkecimpung dalam dunia ilmiah menggunakan kacamata yang sama dalam memandang hal tersebut, yaitu kacamata ilmiah. Sehingga semuanya akan terlihat sebagai sesuatu proses yang wajar-wajar saja, dan penilaian yang kemudian dilakukan akan tetap terjaga objektivitasnya. Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas secara mendetail dan tuntas tentang persoalan teknik penulisan karya ilmiah. Tetapi lebih mengarah pada segi praktis-empiris agar dapat melengkapi tulisan lain yang membahas tema serupa.
Apakah Teknik Penulisan Ilmiah Bisa Dipelajari ?
Ketika Dale Carnigie bertanya pada peserta kursus jurnalistik, “mengapa kalian datang kesini? Apakah karena kalian ingin terampil menulis?”. “Yaaaa…….!”, jawab mereka. “Sebaiknya kalian pulang saja dan mulai menulis, sebab kalau itu keinginan kalian, tidak ada yang bisa dipelajari di sini!”. Carnigie hari itu batal memberi ceramah, dan mereka telah mendapat pelajaran yang sangat berharga hari itu.
Memang untuk dapat menulis tidak ada cara yang lebih baik selain menulis, menulis dan menulis. Tanpa pernah menulis jangan harap dapat menulis dengan baik ketika harus menulis. Walaupun ia punya seribu satu gagasan di otak, pernah mengikuti kursus tulis menulis, ataupun sering membaca buku keterampilan tulis menulis. Dalam hal ini yang terpenting adalah kemauan dan berlatih. Adapun pengetahuan tentang tulis menulis hanya memberikan sumbangan untuk meningkatkan kemampuan. Tidak ada yang tidak bisa dipelajari sehingga menulis karya ilmiah bukanlah barang mewah yang tidak bisa terjangkau.
Mengapa Perlu Ditulis ?
Sudah menjadi watak dasar manusia untuk selalu berpikir. Ia secara potensial menghasilkan pemikiran, gagasan atau yang lain. Hasil penelitian, pemikiran, gagasan akan lebih berguna bila ditulis sehingga dapat dikaji kembali oleh orang lain untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Manfaat lain dengan ditulis adalah akan menjadikan penulis sebagai produsen pemikiran bukan sebagai konsumen pemikiran, yang merupakan ciri khas kaum intelektual. Sehingga naif sekali kalau ada kaum intelektual yang tugasnya hanya mengkonsumsi pemikiran orang lain tanpa pernah menghasilkan pemikirannya sendiri serta mempublikasikannya.
Mengapa Harus Menggunakan Bahasa Ilmiah ?
Bahasa tulis memiliki fungsi sebagai mediator untuk berkomunikasi. Komunikasi dikatakan sukses bila gagasan yang disampaikan oleh kumunikator dapat diterima sepenuhnya oleh komunikan. Artinya, ada sinkronisasi antara yang dipikir dengan yang ditulis, antara yang ditulis dan yang dibaca, dan antara yang dibaca dengan yang dimengerti. Agar mudah dipahami secara universal, maka perlu ditetapkan standar-standar tertentu dalam menulis, yang selanjutnya disebut standar ilmiah. Standar ini meliputi standar dalam berpikir dan metodologi.
Dengan kaca mata ilmiah, siapapun pada prinsipnya akan dapat membaca, menilai, dan mengambil manfaat dari tulisan yang dibuat. Dalam hal ini kemampuan menulis ilmiah merupakan prasyarat untuk dapat mengkomunikasikan gagasan secara tertulis dengan baik. Karena itu untuk menjamin dapat dihasilkannya tulisan yang memenuhi syarat, harus mengikuti kaidah-kaidah ilmiah. Jadi, teknik penulisan ilmiah memberi tuntunan bagaimana dapat menuangkan gagasan dengan tulisan, sehingga keutuhan gagasan tetap terjaga.
Menulis Ilmiah Itu Apa?
Membuat tulisan ilmiah adalah proses menyusun bahan-bahan tulisan menjadi satu kesatuan koordinasi, yang secara keseluruhan merupakan proses pemecahan masalah ilmiah (scientific problem solving) secara sistematis. Lahirnya sebuah tulisan ilmiah berawal dari adanya masalah dan diakhiri dengan kesimpulan yang merupakan jawaban dari masalah yang dikaji. Jadi, inti dari karya tulis ilmiah adalah : pertama, bagaimana memecahkan pokok masalah. Kedua, bagaimana cara membahas dan menulis pokok masalah tersebut. Oleh karena itu dalam tulisan ilmiah terkandung dua unsur pokok, yaitu konsep berpikir ilmiah dan metode ilmiah. Keduanya merupakan prasyarat menghasilkan tulisan ilmiah.
Alur berpikir dalam tulisan merupakan peraduan antara berpikir rasional dengan deduktif (secara teioritik) dan berpikir secara empirik (dengan induktif). Keduanya merupakan struktur baku dalam berpikir ilmiah. Konsep rasional-deduktif-teoritik akan menghasilkan hipotesis. Sedangkan proses pengujian hipotesis (verifikiasi atau valsifikasi) yang dilakukan secara empirik dengan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang merupakan jawaban masalah yang dikaji. Namun, tidak semua proses problem solving yang dilakukan selalu menggunakan hipotesis, seperti dalam laporan penelitian kualitatif.
Oleh karena itu tidak semua karya ilmiah menggunakan konsep problem solving yang lengkap semacam itu. Laporan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi, merupakan jenis-jenis tulisan ilmiah yang menerapkan konsep berpikir ilmiah secara utuh. Namun ada pula jenis tulisan ilmiah yang hanya menerapkan sebagian dari konsep berpikir ilmiah, diantaranya adalah makalah.
Problem solving dalam makalah biasanya memilih salah satu pola. Pola pertama, hanya menerapkan pola rasional–deduktif-teoritik dengan kesimpulan sebobot hipotesis. Atau dengan pola kedua, yaitu induktif-empirik, dimana pengkajian dilakukan berdasarkan bahan-bahan dari lapangan yang kemudian dibahas, bisa dengan menggunakan analisis teoritik. Bobot kesimpulannya hanya sebatas hipotesis. Sebab kedua pola ini tidak dilakukan proses verifikasi (pengujian kebenaran) atau valsifikasi (pengujian ketidakbenaran) yang dilakukan secara sempurna.
Masalah Seperti Apa yang Layak Ditulis ?
Pada prinsipnya semua masalah dapat ddijadikan bahan tulisan, tetapi tidak semua masalah memiliki kadar ilmiah. Sebuah masalah dikategorikan ilmiah dan layak ditulis paling tidak memenuhi tiga syarat, yaitu : punya nilai, visibel, dan sesuai dengan kualifikasi penulis.
Syarat pertama adalah masalah harus punya nilai, artinya :
1. Masalah memang penting dan bermanfaat untuk perkembangan ilmu secara konseptual ataupun secara sosial pragmatis.
2. Variabel-variabel dalam masalah yang dikaji harus menyatakan hubungan. Terjadinya sesuatu ada kaitannya dengan sesuatu yang lain, sebagai konsekuensi atau sebagai penyebab.
3. Masalah harus orisinil, bukan merupakan duplikasi.
4. Masalah harus dapat diuji secara teoritik dan empirik.
Syarat kedua adalah masalah harus fisibel, artinya :
1. Tersedia data untuk menguji atau membahasnya.
2. Tersedia metode untuk mengkajinya.
3. Tersedia sarana yang cukup (ATK, waktu, biaya dan lainnya).
4. Masalah yang ditulis bebas dari unsur sara.
Syarat ketiga adalah kualifikasi penulis, artinya :
1. Masalah yang dikaji sesuai dengan bidang ilmu penulis.
2. Penulis harus berminat terhadap tema yang dipilih.
3. Penulis punya kemampuan mengkajinya.
Dimana Masalah Dapat Diperoleh ?
Masalah ilmiah selalu berkisar pada upaya pengembangan ilmu secara konseptual dan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya masalah ilmiah juga terdapat dalam lingkup tersebut. Ada tiga sumber masalah yang secara potensial dapat digali sebagai bahan tulisan ilmiah. Sumber tersebut adalah P3 (Place, paper, dan person). Place (tempat) merupakan sumber masalah yang sangat potensial. Pasar, sekolah, kampung, jalan, raya, rumah, bioskop, tempat dan sebagainya. Tempat tidak harus menyatakan unsur geografis. Berbagai fenomena yang terjadi di berbagai setting kehidupan juga termasuk lingkup ini. Seperti masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Paper (kertas) merupakan sumber masalah yang tak akan habis digali. Termasuk didalamnya adalah buku, skripsi, tesis, jurnal, majalah, booklet, ataupun semua karya ilmiah yang dibuat dalam bentuk karya tulis. Hampir semua tulisan tersebut dapat dijadikan sumber masalah, yang penting memenuhi syarat. Person adalah siapa saja yang dapat menyampaikan gagasan tentang masalahnya sendiri maupun masalah orang lain. Biasanya masalah ilmiah yang aktual dapat diperoleh dari para ahli, ataupun praktisi yang banyak berkecimpung dalam dunia riset. Dalam seminar, kuliah, ceramah, dan sebagainya biasanya hal ini akan muncul.
Apa yang Perlu Diperhatikan Sebelum Menulis ?
Kita harus tahu dulu apa tujuan dan untuk siapa tulisan dibuat. Artinya kita harus tahu betul dalam kerangka tugas keilmuan apa tulisan itu dibuat, dan siapa konsumen yang akan membaca tulisan tersebut. Keduanya akan menentukan gaya penulisan, kedalaman bahasa, pengunaaan istilah, dan teknik penyajian. Kaitannya dengan pembaca, ada tiga pertanyaan sebagai bahan pertimbangan yang harus dijawab sebelum menulis :
1. Sampai dimana tingkat pengetahuan pembaca.
2. Apa yang perlu diketahui oleh pembaca tersebut.
3. Bagaimana cara menyajikan sehingga keterangan yang diberikan dapat dicerna dengan mudah oleh sipembaca.
Tulisan untuk masyarakat umum seperti artikel, brosur, ataupun summary report (laporan ringkas) akan memiliki gaya pembahasan yang tidak terlalu detil, dan mendalam. Gambaran yang diberikan biasanya cukup praktis. Istilah-istilah yang digunakan juga direduksi sesederhana mungkin sesuai dengan tingkat pengetahuan pembaca. Pokok masalah yang disampaikan hanya ditonjolkan pada beberapa bagian yang biasanya memiliki implikasi langsung terhadap kepentingan masyarakat.
Tulisan untuk masyarakat ilmiah merupakan tulisan yang menerapkan konsep ilmiah secara utuh. Biasanya tulisan yang dibuat merupakan hasil riset yang dilakukan di lapangan. Pembahasan tulisan jenis ini sangat detil dan mendalam, baik secara logis maupun metodologis sehingga dalam tulisan yang dibuat akan disajikan pula tentang teknik, desain, alat, yang digunakan dalam riset. Bentuk yang umum dikenal ada dua macam, yaitu monograf (laporan lengkap secara mendalam dan rinci) ataupun dalam artikel ilmiah (lengkap tetapi tidak detil dan mendalam). Dalam rangka untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan ini tulisan jenis ini sangat membantu karena mudah dikaji kembali, diuji atau melakukan verifikasi untuk meningkatkan derajat kepercayaannya.
Sembilan Langkah Mewujudkan Tulisan
Persoalan klasik yang dialami para penulis adalah bagaimana mendapatkan masalah yang layak tulis dan apa yang harus dilakukan setelah masalah diperoleh. Bagan berikut merupakan prosedur yang dianjurkan untuk mengatasi hal tersebut.
Bagan sembilan langkah mewujudkan tulisan
Langkah pertama : Menyusun daftar masalah.
Bagi penulis sering muncul persoalan bagaimana menentukan masalah, walaupun ia sendiri telah mengetahui kriteria masalah yang layak tulis dan yang tidak. Kadang ingin meniru masalah orang lain, tapi rasanya kurang puas, apalagi bila banyak membaca buku tetapi tidak teratur. Setelah menentukan masalah yang dianggap cocok, biasanya akan tergoda dengan munculnya masaah lain yang nampaknya lebih menarik. Hal ini akan terus berlangsung selama prosedur mencari masalah yang dilakukan tidak sistematis. Energi akan terkuras habis, tetapi masalah yang dicari tidak ditemukan. Hal itu tidak salah, hanya saja sangat tidak efektif jika diteruskan. Sebab akan terjadi ketidakseimbangan antara energi yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Beberapa ahli menganjurkan satu langkah praktis mengatasi hal ini dengan cara membuat daftar masalah.
Daftar masalah merupakan kumpulan masalah-masalah. Cara membuatnyapun mudah, setiap menemukan masalah yang dianggap cocok cukup dituliskan pada daftar. Tapi ingat! jangan dinilai lebih dahulu. Sebab bila ini dilakukan maka terulang kesalahan terdahulu. Biarkan masalah didaftar dulu apa adanya. Setelah dianggap cukup banyak baru dilakukan seleksi. Seleksi dilakukan pada setiap masalah yang ada pada daftar. Tujuannya untuk mengetahui kelayakan masing-masing masalah tersebut. Untuk menghindari unsur subyektif dalam menilai, maka harus berpedoman pada kriteria yang telah ditetapkan. Untuk lebih mudah, cukup dilakukan dengan menjawab pertanyaan seperti berikut ini :
1. Apakah cukup berguna atau penting?
2. Apakah cukup aktual?
3. Apakah lingkupnya cukup terbatas?
4. Apakah menghasilkan sesuatu yang baru (ide baru, metode baru, pandangan baru, hasil baru, ataupun masalah baru)?
5. Apakah tersedia data atau informasi untuk itu?
6. Apakah sesuai dengan disiplin ilmu penulis?
7. Apakah dapat dikaji sesuai kapasitas ilmu penulis?
8. Apakah penulis punya interest?
Bila kedelapan pertanyaan tersebut dijawab dengan “ya’ secara mantap. Berarti sudah tidak ada persoalan. Masalah yang layak ditulis telah diperoleh. Tetapi seandainya ternyata ada pertanyaan yang dijawab dengan “tidak”, ataupun dijawab “ya” dengan tidak mantap, berarti masalah tersebut tidak layak. Carilah masalah lain dan seleksi kembali. Demikian seterusnya sampai diperoleh masalah yang layak.
Langkah kedua : mendalami masalah.
Mendalami masalah bertujuan untuk memantapkan penulis dalam memilih pendekatan, membatasi masalah, dan mendefinisikannya. Tujuannya agar perspektif tentang masalah yang dipilih menjadi lebih luas dan mendalam. Dengan demikian penulis dituntun untuk memilih secara arif pendekatan yang cocok. Urgensinya agar pada saat pengkajian dilakukan penulis tidak mudah tergoda oleh munculnya pertanyaan dari referensi lain yang muncul belakangan. Tujuan lainnya adalah untuk menghindari duplikasi.
Mendalami masalah dilakukan dengan cara membaca literatur, diskusi/konsultasi dengan ahli, praktisi, atau rekan sejawat, melihat fenomena secara langsung dan sebagainya. Yang penting adalah bagaimana mendapatkan informasi tentang masalah tersebut dari berbagai sisi. Sehingga seandainya masalah yang diangkat itu aktual, ya memang benar-benar aktual. Bukan aktual menurut persepsi penulis saja. Dalam daftar masalah akan diperoleh masalah (tema) yang masih luas, maka perlu dilakukan pembatasan. Tujuannya untuk mendapatkan tema yang lebih spesifik. Tema spesifik dengan pembahasan mendalam dalam dunia ilmiah lebih disukai, dibandingkan dengan pembatasan yang terlalu luas dengan pembahasan yang dangkal.
Pembatasan dapat dilakukan menurut tinjauan tempat, waktu, hubungan sebab akibat, pendekatan, aspek khusus umum, dan menurut obyek formal dan material.
1. Pembatasan menurut tempat
Umumnya menyatakan lingkup geografis tema bahasan untuk dikaji. Tema tentang “Pendidikan Inklusi” dapat dipersempit menjadi “Pendidikan Inklusi di Sumatera Barat”.
2. Pembatasan menurut waktu
Waktu bisa berarti periode atau zaman. Tulisan tentang “Pendidikan Inklusi di Sumatera Barat” dapat dipersempit menjadi “Pendidikan Inklusi di Sumatera Barat pada Masa Orde Reformasi”.
3. Pembatasan menurut hubungan sebab akibat.
Judul tentang “Pendidikan Inklusi di Sumatera Barat pada Masa Orde Reformasi” dapat dipersempit lagi menjadi “Faktor-faktor Penghambat Pendidikan Inklusi di Sumatera Barat pada Masa Orde Reformasi”.
4. Pendekatan menurut pendekatan
Pendekatan mengacu pada bidang kehidupan manusia seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, ideologi, kesenian, pendidikan dan sebagainya. Judul tentang “Faktor-faktor Penghambat Pendidikan Inklusi di Sumatera Barat pada Masa Orde Reformasi” dapat dipersempit menjadi ““Faktor-faktor Penghambat Pendidikan Inklusi di Sumatera Barat pada Masa Orde Reformasi :Tinjauan Sosial Budaya”.
5. Pembatasan menurut aspek umum khusus
Diartikan juga sebagai tinjauan tentang : individual-kolektif, contoh-konsep, riil-abstrak, dan sebagainya. Judul tentang ”Persepsi Lembaga Pendidikan Formal tentang Penerapan Pendidikan Inklusi”, dapat dipersempit menjadi ”Persepsi Kepala Sekolah Reguler tentang Penerapan Pendidikan Inklusi”.
6. Pembatasan menurut objek matirial dan obnjek formal.
Objek material mengacu pada bahan yang dibicarakan sedangkan objek formal mengacu pada sudut dari mana bahan itu akan ditinjau. Misalnya “Kebudayaan Indonesia (Obyek material) ditinjau dari Asal Usulnya (Obyek formal)”.
Pembatasan dilakukan bisa dengan satu aspek ataupun lebih, sesuai dengan pilihan penulis. Setelah pembatasan dilakukan maka judul dapat dibuat. Judul harus seringkas mungkin tetapi tetap menggambarkan ide pokok tulisan. Jika tidak bisa jangan dipaksakan, dilakukan modifikasi dengan membuat judul dan anak judul. Langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah mendefenisikan masalah. Langkah ini bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah pokok yang digunakan dalam tulisan. Agar antara penulis dan pembaca memiliki pemahaman yang sama tentang maksud istilah yang ditulis.
Judul tentang “Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Layanan Pendidikan”. Maka harus didefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan : Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus dan dari Layanan Pendidikan. Misalnya tentang istilah anak berkebutuhan khusus yang dipakai apakah menyatakan siapa saja anak yang dinyatakan berkebutuhan khusus atau hanya mereka yang bersekolah atau hanya pada salah satu jenis anak berkebutuhan khusus dan seterusnya.
Langkah ketiga : Merumuskan masalah
Rumusan masalah menyatakan apa yang harus dijawab dalam keseluruhan proses tulisan. Umumnya rumusan masalah mengikuti bentuk sebagai berikut :
1. Masalah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan.
2. Rumusan hendaknya berbentuk jelas, padat dan mudah dipahami.
3. Rumusan masalah merupakan implikasi adanya data untuk memecahkan masalah.
Sebagai contoh, judul tentang ”Persepsi Kepala Sekolah Reguler tentang Penerapan Pendidikan Inklusi : Studi pada SD-SD di Kec. Pauh Padang”, dapat dibuat rumusan masalahnya : Bagaimanakah persepsi kepala sekolah SD-SD di Kec. Pauh reguler tentang penerapan pendidikan inklusi? Maka kesimpulan akhirnya harus menyatakan persepsi kepala sekolah SD-SD di Kec. Pauh reguler tentang penerapan pendidikan inklusi : begini.
Langkah keempat : Menyusun outline
Setelah merumuskan masalah, penulis mulai mengambil keputusan tentang bagaimana memecahkan masalah yang telah dirumuskan dan menjelaskan dan bagaimana berbagai fenomena berhubungan dengan fenomena yang lain. Outline (kerangka karangan) pada prinsipnya membantu penulis untuk melihat secara global tentang langkah-langkah penyelesaian masalah yang dilakukan. Dengan outline penulis dapat menilai dengan jelas apakah semua materi telah dimasukkan ataukah masih ada yang tertinggal. Outline kemudian dikembangkan lagi lebih detil, bila outline masih dalam bentuk bab maka dikembangkan dalam bentuk sub bab, topik, sub topik, dan seterusnya.
Berdasarkan pada pengembangan materi outline, penulis akan lebih mudah melihat ada tidaknya hubungan logis antara materi yang akan ditulis. Bila ternyata bagian yang satu dengan bagian yang lain belum menyatakan hubungan logis, maka pada bagian ini diperbaiki sampai memperoleh hasil yang diharapkan. Dengan outline yang sempurna berarti tugas berat untuk menulis telah terlewati, tinggal mencari bahan yang relevan untuk mengisinya.
Langkah kelima : Mencari bahan
Sumber bahan sama dengan sumber masalah, yaitu terdapat pada paper, person, place. Cara mudah mencari bahan adalah dengan berpedoman pada outline. Sub-sub topik dalam outline merupakan satuan kecil yang menyatakan bahan apa yang diperlukan untuk menyusun tulisan. Informasi yang diperoleh harus diberi keterangan yang jelas tentang identitas sumber informasinya. Identitas sumber informasi diperlukan agar sipembaca dapat menilai validitas dan reliabilitas informasi yang disampaikan penulis.
Langkah keenam : organisir data
Data yang diperoleh dari berbagai sumber walaupun berpedoman pada penjabaran outline, umumnya masih belum teratur. Untuk itu data yang terkumpul perlu diorganisir, yaitu mengelompokkan, mengklasifikasikan data sesuai derajat validitas dan menyeleksi data yang relevan. Dengan mengorgansir data dapat diketahui apakah bahan yang ada telah cukup menyusun suatu bagian dalam outline atau belum.
Langkah ketujuh : menyusun tulisan
Inti menulis ada disini. Dengan outline yang baik dan didukung bahan yang memadai mestinya kita tidak mengalami kesulitan untuk menulis. Tetapi seringkali muncul kesulitan bagaimana dan darimana harus memulai. Saat mendalami masalah dan membuat outline, sebenarnya telah muncul gagasan yang ingin dituangkan dalam tulisan, sehingga tak perlu ada kesulitan dalam hal ini. Hanya saja diawal menulis kita terjebak dengan aturan tata tulis yang dipandang sebagai sesuatu yang membelenggu.
Tak perlu dirisaukan, cara mengatasinya mudah. Cukup dengan mengemukakan gagasan itu dengan bahasa sendiri. Sudah tentu pokok pembicaraan disesuaikan dengan tema-tema pada outline. Selama masih ada gagasan, terus tuangkan! jangan berhenti sampai gagasan-gagasan tersebut meluncur deras seakan tak pernah habis. Bahan-bahan yang telah diorganisir akan membantu dalam mengembangkan argumentasi, menyusun kalimat, dan paragraf. Syarat bahasa yang digunakan dalam tulisan : harus komunikatif.
Langkah kedelapan : mencetak draft
Menulis karya ilmiah adalah proses penuangan gagasan secara jelas, ringkas, dan tegas dengan bahasa yang mudah dipahami serta memenuhi kaidah ilmiah. Oleh karena itu diperlukan kecermatan walaupun dalam prakteknya sangat sulit bagi pemula untuk dapat menghasilkan tulisan yang sempurna sekali jadi. Hal ini disebabkan oleh persoalan logika berpikir, kelengkapan bahan, dan tata bahasa. Dengan demikian diperlukan pemeriksaan secara cermat pada semua tulisan. Disinilah pentingnya cetak sementara (cetak draf). Teknologi komputer sebagai alat sangat membantu dalam proses ini. Tetapi pada prinsipnya jangan terjebak dengan ketergantungan pada alat sehingga malas untuk memulai menulis.
Langkah Kesembilan : revisi dan susun kembali.
Pemeriksaan tulisan ditujukan pada bagian logika berpikir, kelengkapan bahan, tata bahasa, terutama tata tulis. Dengan cetak draft memudahkan penulis melakukan pemeriksaan secara keseluruhan. Bagian-bagian yang masih kurang ditambah, kesalahan diperbaiki, dan yang lebih dikurangi. Intinya, revisi dilakukan seperlunya saja. Penghalusan bahasa dilakukan juga walaupun harus menggunakan bahasa baku, tetapi dalam penyajiannya jangan sampai kaku sehingga tulisan yang dibuat enak dibaca dan tidak membosankan. Sampai tahap ini boleh dikatakan tulisan sudah jadi.
Catatan Akhir
Diskusi atas materi tulisan ini diharapkan, mengingat pandangan obyektif secara subyektif seringkali menutupi penilaian yang obyektif. Insya Allah bermanfaat. Amiin.
Daftar Bacaan
Creswell, John W. 2002. Educational Research : Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey : Merill Prentice Hall.
Rose, Richard & Grosvenor, Ian. 2001. Doing Research in Special Education : Ideas into Practice. London : David Fulton Publishers.
BIO DATA PENULIS
Marlina. Lahir di Pariaman 2 September 1969. Lulus Diploma dua pada Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) tahun 1990. Memperoleh Sarjana Pendidikan (S.Pd) dari IKIP Yogyakarta Jurusan Pendidikan Luar Biasa tahun 1995. Memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) dengan predikat Cum Laude di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tahun 2004. Sejak tahun 1998 sampai sekarang menjadi dosen tetap di Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.
. PRA SEJARAH DAN ZAMAN HINDU
a. Pengertian Pra Sejarah
Apakah yang dimaksud dengan pra sejarah? Pra sejarah adalah kejadian atau pristiwa yang sesungguhnya terjadi sebelum manusia mengenal tulisan. Banyak ahli yang melakukan penyelidikan tentang masyarakat dan budaya manusia masa pra sejarah. Ilmu yang menyelidiki masyarakat dan budaya manusia pada masa itu disebut ilmu pra sejarah. Jadi, ilmu pra sejarah adalah ilmu yang menyelidiki tentang segala kegiatan manusia pada masa lampau sebelum adanya sumber-sumber tulisan.
b. Perkemabangan Corak Kehidupan Masyarakat Masa Pra Sejarah
Perkembangan corak kehidupan masyarakat pada masa pra sejarah dapat diketahui dari benda peninggalan pra sejarah, misalnya tulang-tulang manusia, binatang dan kayu. Dari benda-benda temuan ini dapat diketahui cara kehidupan manusia pada masa dahulu. Mula-mula mereka hidup mengembara, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan selalu berpindah-pindah untuk mencari tempat yang cukup persediaan makanannya. Masa ini disebut masa berbnuru dan mengumpulkan makanan.
Kemudian karena manusia mempunyai akal, dengan mengamati alam telah memberikan pengalaman langsung pada mereka sehingga corak kehidupan mereka berubah. Sesuai dengan dimana mereka hidup tidak berpindah-pindah lagi tetapi muali hidup berkelompok-kelompok menetap ditepi pantai/sungai dengan kehidupan manangkap ikan, dipegunungan hidup belajar dari alam sehingga bisa bercocok tanam disamping berburu. Mereka belajar melalui peniruan cara-cara hidup orang tuanya. (pendidikan informal). Pada zaman ini orang khawatir melakukan perbuatan buruk, karena tidak dibenarkan oleh roh nenek moyang. Mereka selalu taat kepada aturan yang sudah ditetapkan oleh nenek moyangnya. Dan berusaha untuk mengetahui kehendak nenek moyang mereka. Kondisi seperti inilah yang telah mengingatkan jiwa mereka untuk taat kepada adat. Kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan baik walaupun tanpa ada hukum tertulis yang mengaturnya.
Dari hasil penelitian, ternyata nenek moyang kita pada zaman pra sejarah sudah mengenal keindahan, ukiran, perhiasan gelang dari batu, logam. Dan ternyata di Indonesia terdapat berbagai asat penguburan yang mungkin dibawa oleh suku-suku dari luar Indonesia dan menetap di Indonesia
Hasil kebudayaan manusia prasejarah untuk mempertahankan dan memperbaiki pola hidupnya menghasilkan dua bentuk budaya yaitu :
1. Bentuk budaya yang bersifat Spiritual
2. Bentuk budaya yang bersifat Material
Masyarakat Prasejarah mempunyai kepercayaan pada kekuatan gaib yaitu :
• Dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap bneda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Misalnya : batu, keris
• Animisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang mereka yang bersemayam dalam batu-batu besar, gunung, pohon besar. Roh tersebut dinamakan Hyang.
Pola kehidupan manusia prasejarah adalah :
Bersifat Nomaden (hidup berpindah-pindah), yaitu pola kehidupannya belum menetap dan berkelompok di suatu tempat serta, mata pencahariannya berburu dan masih mengumpulkan makanan
Bersifat Permanen (menetap), yaitu pola kehidupannya sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat, mata pencahariannya bercocok tanam. Muali mengenal norma adat, yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Sistem bercocok tanam/pertanian
Mereka mulai menggunakan pacul dan bajak sebagai alat bercocok tanam
Menggunakan hewan sapi dan kerbau untuk membajak sawah
Sistem huma untuk menanam padi
Belum dikenal sistem pemupukan
Pelayaran
Dalam pelayaran manusia prasejarah sudah mengenal arah mata angin dan mengetahui posisi bintang sebagai penentu arah (kompas)
Bahasa
Menurut hasil penelitian Prof. Dr. H. Kern, bahasa yang digunakan termasuk rumpun bahasa Austronesia yaitu : bahasa Indonesia, Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia.
Terjadinya perbedaan bahasa natar daerah karena pengaruh faktor geografis dan perkembangan bahasa
c. Pengaruh Hindu dan Budha di Indonesia
Agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia melalui hubungan dagang dan hubungan budaya. Agama Hindu dibawa oleh kaum Brahmana, sedangkan Budha dibawa oleh para pendeta. Dalam menyeberkan agama Hindu maupun agama Budha, kaum Brahmana dan para pendeta menyebarkannya sambil mengadakan hubungan dagang dengan rakyat Indonesia.
Kedatangan para pedagang India dan Cina ke Indonesia tidak dapat dipisahkan dari letak wilayah kita yang strategis dan kaya dengan kekayaan alam. Keadaan inilah yang telah mendorong para pedagang India da Cina menjalin hubungan dagang dengan penduduk Indonesia.
Pada abad VII samapai XIV, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama Budha di Indonesia. Keberhasilan Sriwijaya menjadi pusat penyebaran dan pendidikan agama Budha di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan kekuasaan raja dalam menyebarkan agama Budha tersebut. Kerajaan Kutai, Tarumanegara, dan Kerajaan Majapahit mampu menjdi symbol dari peran seorag raja dalam menyebarkan agama Hindu kepada rakyatnya sehingga abad ke XIV, Majapahit menjadi kerajaan Hindu terbesar dan memiliki Bandar Besar seperti Tuban dan Gresik.
Kedatangan dan menetapnya kaum Brahmana di Indonesia, telah melahirkan kaum Brahmana baru. Kaum Brahmana baru tersebut terdiri dari bangsa Indonesia, kemudian mereka pergi berziarah ketempat-tempat suci di India. Mereka belajar serta memperdalam pengetahuan agama. Setibanya di tanah air, mereka sudah memiliki pengetahuan agama, seni, dan sastra India. Mereka menyebarkan pengetahuannya dalam bahasa sendiri sehingga agama Hindu dan Budha serta seni sastra dari India itu tersebar ke seluruh Indonesia.
Agama Hindu ynag dibawa ke Indonesia oleh Brahmana telah membawa berbagai perubahan yang berarti bagi kehidupan beragama, budaya, ekonomi, sosial, sistem pemerintahan, dan lain-lain. Sejak saat itu, berakhirlah masa prasejarah di Indonesia dan mulailah babak baru, yaitu masa sejarah.
Pengaruh Hindu-Budha di Indonesia
Tersebarnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia berpengaruh luas dalam kehidupan masyarakat Indonesia, diantaranya dalam bidang berikut ini.
1. Kepercayaan
Bangsa Indonesia mulai menganut agama Hindu dan Budha walaupun tidak meninggalkan kepercayaan aslinya, seperti pemujaan terhadap roh nenek moyang.
2. Pemerintahan
Bangsa indonesia mulai mengenal sistem pemerintahan kerajaan dan meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku. Dalam sistem kerajaan seorang raja memerintah secara turun temurun.
3. Sosial
Dalam bidang sosial, terjadi bentuk perubahan dalam tata kehidupan sosial masyarakat. Misalnya dalam masyarakat Hindu diperkenalkan adanya sistem kasta.
4. Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, tidak begitu besar pengaruh dan perubahannya, karena masyarakat Indonesia telah mengenal aktifitas perekonomian melalui pelayaran dan perdagangan jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha.
5. Kebudayaan
Pengaruh kebudayaan Hindu-budha terlihat dari hasil-hasil kebudayaan seperti bangunan candi, seni sastra, berupa cerita-cerita epos diantaranya Epos Mahabharata dan Epos Ramayana. Pengaruh lainnya adalah sistem tulisan. Kebudayaan Hindu-Budha amat berperan memperkenalkan sistem tulisan di masyarakat Indonesia.
Penyiaran Agama Hindu di Indonesia
Proses masuknya agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang, baik pedagang India yang datang ke Indonesia maupun pedagang Indonesia yang belajar di India dan selanjutnya menyebarkan agama Hindu ke Indonesia. Namun di lain pihak terdapat beberapa teori yang berbeda tentang penyebaran agama Hindu ke Indonesia, diantaranya:
1. Teori Sudra: menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra, karena mereka dianggap sebagai orang-orang buangan.
2. Teori Waisya: menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Waisya, karena mereka terdiri atas pedagang yang datang dan kemudian menetap di Indonesia. Bahkan banyak diantara para pedagang itu yang kawin dengan wanita Indonesia.
3. Teori Ksatria: menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan terjadinya kekacauan politik di India, sehingga para Ksatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan serta menyebarkan agama Hindu.
4. Teori Brahmana: menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dilakukan oleh kaum Brahmana. Kedatangan mereka ke Indonesia untuk memenuhi undangan kepala suku yang tertarik dengan agama Hindu. Kaum Brahmana yang datang ke Indonesia inilah yang mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat Indonesia.
Dari keempat teori tersebut, hanya teori Brahmanalah yang dianggap sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Bukti-bukti tersebut diantaranya:
1. Agama Hindu bukan agama yang demokratis, karena urusan keagamaan menjadi monopoli kaum Brahmana, sehingga hanya golongan Brahmana yang berhak dan mampu menyiarkan agama Hindu.
2. Prasasti Indonesia yang pertama berbahasa Sansekerta, sedangkan di India sendiri bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan. Jadi kaum Brahmanalah yang mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut
2. ZAMAN KEDATANGAN ISLAM KE INDONESIA
Agama Islam masuk ke Indonesia sejak abad Ke VII sampai abad XIII, dibawa oleh orang muslim dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Golongan pembawa Islam ke Indonesia pada umumnya melalui jalur perdagangan, berbeda dengan golongan pedagang Hindu. Pada agama Hindu, hanya golongan Brahmana saja yang menyebarkan agamanya. Tetapi dalam ajaran Islam, setiap orang muslim adalah sekaligus pendakwah (sampaikanlah walaupun sepotong ayat). Oleh karena itulah, pedagang muslim sekaligus merupakan tokoh misi agamanya.
Para pedagang muslim tidak datang sendiri. Mereka juga diikuti oleh para guru agama dan mubaligh. Bahkan ada juga golongan yang mempunyai peranan khusus dal hal keagamaan ini, yakni kaum tasawuf. Para pedagang muslim pembawa Islam berusaha dengan cara menarik simpati hati rakyat Indonesia, terutama raja-raja dan golongan bangsawan yang memegang peranan dalam bidang perdagangan. Oleh karena itulah, akhirnya para bangsawan dan raja tertarik untuk memasuki Islam. Cara-cara ini menunjukkan kesucian ajaran Islam. Berdakwa tidak dengan kekerasan tetapi melalui pendekatan yang sangat mulia.
Beberapa hal yang menyebabkan Islam mudah diterima oleh rakyat Indonesia:
• Syarat masuk Islam sangat mudah, yakni dengan mengucapkan dua kalimat syahadat sudah cukup.
• Dalam ajaran Islam tidak dikenal dengan adanya kasta-kasta dan sesorang tidak ditentukan oleh kaya dan miskinnya, pangkat dan jabatannya, tetapi oleh nilai ketakwaanya kepada Allah.
• Upacara-upacara keagamaan dalam Islam sangat sederhana dan tidak harus mengeluarkan banyak biaya.
• Penyebarannya tidak melalui kekerasan, melainkan dengan cara-cara damai.
Pelaksanaan pendidikan ini lebih banyak melalui:
- pendidikan di surau atau dilanggar
- pendidikan pesantren
- pendidikan Madrasyah
Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
1. Bukti-bukti Masuknya Islam ke Indonesia
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan di Indonesia, para ahli menafsirkan bahwa agama dan kebudayaan Islam diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 M, yaitu pada masa kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.
Pendapat lain membuktikan bahwa agama dan kebudayaan Islam masuk ke wilayah Indonesia dibawa oleh para pedagang Islam dari Gujarat (India). Hal ini dilihat dari penemuan unsur-unsur Islam di Indonesia yang memiliki persamaan dengan India seperti batu nisan yang dibuat oleh orang-orang Kambay, Gujarat.
2. Sumber-sumber Berita Masuknya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
Sumber-sumber berita itu di antaranya sebagai berikut.
Berita Arab, berita ini diketahui melalui para pedagang Arab yang telah melakukan aktifitasnya dalam bidang perdagangan dengan bangsa Indonesia. Kegiatan para pedagang Arab di Kerajaan Sriwijaya dibuktikan dengan adanya sebutan para pedagang Arab untuk Kerajaan Sriwijaya, yaitu Zabaq, Zabay, atau Sribusa.
Berita Eropa, berita ini datangnya dari Marcopolo. Ia adalah orang Eropa yang pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia, ketika ia kembali dari Cina menuju Eropa melalui jalan laut. Ia mendapat tugas dari kaisar Cina untuk mengantarkan putrinya yang dipersembahkan kepada kisar Romawi. Dalam perjalanannya ia singgah di Sumatera bagian Utara. Di daerah ini ia telah menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Samudera dengan ibukotanya Pasai.
Berita India, dalam berita ini disebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Karena di samping berdagang mereka aktif mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisir pantai.
Berita Cina, berita ini berhasil diketahui melalui catatan dari Ma-Huan, seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulau Jawa.
Sumber dalam negeri, sumber-sumber ini diperkuat dengan penemuan-penemuan seperti:
Penemuan sebuah batu di Leran (dekat Gresik). Batu bersirat itu menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu itu memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah binti Ma'mun (1028).
Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 676 M atau tahun 1297 M.
Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419. Jirat makam didatangkan dari Gujarat dan berisi tulisan-tulisan Arab.
Saluran Penyebaran Islam
Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia atau proses Islamisasi di Indonesia melalui beberapa cara atau saluran, yaitu:
• Perdagangan
Sejak abad ke-7 M, para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan jalinan hubungan perdagangan antara masyarakat dan para pedagang Islam. Di samping berdagang, para pedagang Islam dapat menyampaikan dan mengajarkan agama dan budaya Islam kepada orang lain termasuk masyarakat Indonesia.
• Politik
Setelah tersosialisasinya agama Islam, maka kepentingan politik dilaksanakan melalui perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti pula dengan penyebaran agama Islam. Contohnya, Sultan Demak mengirimkan pasukannya untuk menduduki wilayah Jawa Barat dan memerintahkan untuk menyebarkan agama Islam. Pasukan itu dipimpin oleh Fatahillah.
• Tasawwuf
Para ahli tasawwuf hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha untuk menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama-sama di tengah-tengah masyarakatnya. Para ahli tasawwuf ini biasanya memiliki keahlian yang dapat membantu kehidupan masyarakat, di antaranya ahli menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Mereka juga aktif menyebarkan dan mengajarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang mereka lakukan disesuaikan dengan kondisi, alam pikiran, dan budaya masyarakat pada saat itu, sehingga ajaran-ajaran Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat. Ahli tasawwuf yang memberikan ajaran agama Islam yang disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat setempat antara lain Hamzah Fansuri di Aceh dan Sunan Panggung di Jawa.
Perkembangan Islam di Indonesia
Pedagang-pedagang Gujarat yang datang ke Indonesia bukan hanya berdagang, tetapi juga untuk menyebarkan agama yang mereka anut. Karena terdorong ketaatan mereka pada agamanya, mereka langsung mengajarkan pada masyarakat di mana mereka berada. Di samping itu para pedagang yang datang dari Persia juga ikut menyebarkan agam Islam di Indonesia.
Kerajaan Samudera Pasai adalah Kerajaan pertama yang menganut agama Islam di Indonesia, dengan Pasai sebagai pusat pengembangan dan sebagai pusat kegiatan para pedagang Islam di Indonesia. Namun, berkembangnya Malaka sebagai bandar perniagaan di Selat Malaka, menyebabkan kedudukan Pasai semakin mundur dan terdesak karena letak Malaka, jauh lebih strategis dari letak Pasai.
Pada abad ke-14 M, Malaka mulai berkembang sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara. Walaupun pada mulanya Malaka merupakan suatu perkampungan nelayan, akhirnya Malaka menjadi bandar yang sangat ramai.
Makin lama makin besar kekuasaan orang-orang Islam dalam dunia perdagangan di daerah Timur. Orang-orang Gujarat yang menyiarkan pengajaran agama Islam kepada orang-orang Jawa tidak menemui kesulitan, walaupun mereka telah 1000 tahun dipengaruhi oleh kebudayaan India.
Penyebaran agama Islam tidak dilarang atau dirintangi oleh Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-15 M, kekuatan Majapahit mulai hilang. Bandar-bandar perdagangan yang ada di pulau Jawa mulai dikuasai oleh kekuasaan Islam.
Bandar-bandar yang ada di utara pulau Jawa membentuk suatu persekutuan di bawah Raden Patah (bupati Demak). Pada permulaan 16 M, pasukan Demak mengadakan penyerbuan terhadap Kerajaan Majapahit. Seluruh alat kebesaran Majapahit jatuh ke tangan Demak, sehingga Kerajaan Demak berkembang dan menggantikan peranan Kerajaan Majapahit.
3. ZAMAN VOC dan BELANDA
Dalam abad ke-17 Perserikatan Kongsi Dagang Belanda di Hindia timur, yang dalam Bahasa Belandanya disingkat VOC, berhasil mengawasi jalan peniagaan Indonesia dengan menaklukan Malaka di sebelah Baraty (1641) dan Maksar sebelah Timur (1667). Pangkalan yang kuat didirikannya dipusat kekusaannya dan diperluasnya ke daerah pesisir Utara Jawa Tengah (Semarang tahun 1677) dan kesebelah Barat dengan menutup Bandar banten sebagai pelabuhan bebas (1684). Mula-mula secara ekonomis, kemudian secara politis Jawa diikat kepada VOC. Pegawai VOC yang umumnyabukan orang terdidik dan jauh dari pada bersifat jujur dalam melakukan tugas mereka, penyelewengan untuk keuntungan sendiri mudah terjadi dengan menyalah gunakan kekusaan, korupsi merajalela. Organisasi VOC jadinya gulung tikar. Segala utang piutang diambil oleh pemerintah Belanda, namun perubahan status ini tidak menimbulkan perubahan. Daerah VOC di Indonesia, yang pertahanan tidak pernah menjadi perhatian Belanda mudah saja jatuh ketangan Inggris. Di Jawa pemerintahan di pegang oleh T.S. Raffles (1811-1816), yang menganut paham liberalisme, liberal dibidang ekonomi maupun dibidang pemerintahan. Pada waktu itu uang sangat sulit, perubahan pembayaran pajak menambah berat penderitaan orang banyak. Pendidikan pada zaman ini pendidikan masih terbatas untuk kelompok golongan tertentu, sekolah didirikan oleh jenis pendidikan tujuan yang banyak ragam seperti:
- Sekolah rakyat
- Sekolah keterampilan
4. ZAMAN KEMARDEKAAN
Sejak diplokramilkannya kemardekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dimana dalam UUD 1945 Bab II pasal 3 dicantumkan dengan tegas dinyatakan “Tujuan Pendidikan dan Pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”, jadi kurikulum harus bisa mengapliklasikan rencana pendidikan dan pengejaran awal kemardekaan adalah:
• Meningkatkan kecerdasan kesadaran hidup bernegara dan bermasyarakat
• Meningkatkan pendidikan jasmani
• Meningkatkan pendidikan watak
• Memberikan perhatian pada kesenian
• Menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.
Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kurikulum terus berubah sesuai dengan tuntunan perubahan kebutuhan masyarakat mqsa sekarang dan masa yang akan datang.
Sistem pendidikan pun harus disesuaikan dan disempurnakan jika setelah berjalan sudah tidak bisa lagi memenuhi tuntunan, baik dari segi content (isi), Strategi Pembelajaran, media/alat bantu pembelajaran dan cara penilaiannya. Prinsip”Live Long education”, dapat diterapkan dan pemerintah telah mengundang dan menerapkan wajib belajar 9 tahun setiap warga Negara. Setiap warga Negara berhak untuk mendapat pendidikan yang layak sesuai dengan kemampuannya.
Filsafat pendidikan telah sewajarnya dipelajari oleh mereka yang memperdalam ilmu pendidikan dan keguruan alasannya:
a. adannya problema-problema pendidikan yang timbul dari zaman ke zaman yang menjadi perhatian ahlinya masing-masing. Pendidikan adalah usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin bangsa dan masyarakat. Corak gagasan yang berlandaskan filsafat sering timbul dari ahli-ahli fikir ini. Hal ini masuk dalam lapangan filsafat pendidikan.
b. Dapatlah diperkirakan bahwa bagi barang siapa yang mempelajari filsafat pendidikan dapat mempunyai pandangan-pandangan yang jangkauannya melampaui hal-hal yang ditemukan secara eksperimental atau empirik maka dari itu filsafat pendidikan dapat diharapkan merupakan bekal untuk meninjau pendidikan beserta masalah-masalahnya secara kritis.
c. Dapat terpenuhi tuntutan intelektual dan akademik. Dengan landasan asas bahwa berfilsafat adalah berfikir logis yang teratur-atur dan kritis, maka berfilsafat pendidikan berarti memiliki kemampuan semacam itu. Oleh karena itu diharapkan dapat mempunyai pengaruh terbentuknya pribadi pendidik yang baik. Maka mempelajari filsafat pendidikan itu mengandung optimisme yang mengembirakan.
Bidang ilmu pendidikan dengan berbagai cabang-cabangnya merupakan landasan ilmiah pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang secara dinamis. Sedangkan filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya, merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Kedua bidang diatas harus menjadi pengetahuan dasar (basic knowledge) bagi setiap pelaksana pandidikan, apakah ia guru atau sarjana pendidikan. Membekali mereka dengan pengetahuan dimaksud di atas berarti memberikan dasar yang kuat bagi suksesnya profesi mereka. Dengan demikian sarjana pendidikan mengaapproach masalah pendidikan dengan approach yang komprehensif dan integral: dan bukan dengan approach yang elementer, bahkan tidak dengan approach ilmiah semata-mata. untuk maksud ini perlu dipahami arti dan maksud filsafat pendidikan disamping ilmu pendidikan.
PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang teleologis, bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh menuju ketingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan misalnya: iklim, makanan, kesehatan, keamanan sesuai dengan kebutuhan manusia adanya aktifitas dan lembaga-lembaga pendidikan merupakan jawaban manusia atas problema itu. Karena manusia berkesimpulan, dan yakin bahwa pendidikan itu mungkin dan mampu mewujudkan potensi manusia sebaga aktualitas, maka pendidikan itu diselenggarakan. Timbulnya problem dan pikiran pemecahan itu adalah bidang pemikiran filsafat dalam hal ini filsafat pendidikan berarti pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat. Dengan perkataan lain ide filsafat yang memberi asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan bagi pembinaan manusia, telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan dan aktifitas penyelenggaraan pendidikan.
DASAR DAN TUJUAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Dasar-dasar filsafat pendidikan berasas pancasila dan ketuhanan. Tujuan filsafat pendidikan mendorong para pendidik agar dapat melaksanakan pembelajaran dengan peserta didik dengan seluruh kebijaksanaan dan komprehensif. Ide-ide filsafat pendidikan yaitu:
1. teori hukum empirisme
ajaran filsafat empirisme yang dipelopori oleh john luke mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditimbulkan oleh fakto-faktor pendidikan terutama pendidikan. Kesimpulannya bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang menulis kertas putih itu.
2. teori hukum natifisme
ajaran filsafat natifisme yang dapat digolongkan filsafat idealisme berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh hereditas, faktor dalam yang bersifat kodrati.
3. teori hukum konfergensi
bagaimanapun kuatnya aliran kedua alasan di atas namun keduanya kurang realistis, suatu kenyataan, bahwa potensi hereditas yang baik saja, tanpa pengaruh lingkunga atau pendidikan yang positif tidak dapat membina kepribadian yang ideal sebaliknya meskipun lingkungan pendidikan yang positf dan maksimal tidak akan menghasilkan kepribadian yang ideal tanpa potensi hereditas yang baik. Oleh karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasam kedua faktor, baik internal maupun faktor eksternal. Aliran yang secara nyata mengutamakan peranan fital pendidikan adalah empirisme, termasuk progresifisme sebagai empirisme radikal